“Semua
pengetahuan mu sampah!” ucap Renata menggelegar. Bahkan tangan kanannya
mengepal seperti Bung Tomo ketika mengobarkan semangat sebelum perang.
Wina
melongo. Pertama karena terkejut mendengar teriakan Renata. Kedua karena
melihat kobaran mata Retana yang mencerminkan amarah sekaligus kepedihan.
Ketiga, dia tak bisa mengucapkan kata-kata yang pas untuk menggambarkan
ekspresi tubuh Renata yang menyerupai patung pahlawan perang di taman kota.
“Hiks....hiks....,”
Renata malah mulai menangis dengan pose yang sama ketika dia berteriak lantang
tadi.... “Gimana perasaan loe, Win....? Kalo cowok yang gue idolakan selama
lima tahun ngomong kayak gitu?”
Wina
menghela nafas.
“Pengetahuan
gue, Win.....Pengetahuan gue sampah....Hwaaaaa!!!!!!” kepalan tangan renata
justru makin kencang, dia melampiaskan semua rasa marahnya dalam kepalan itu.
Namun tubuhnya yang tadi tegap berdiri melunglai, dan akhirnya ambruk.
“Huhuhuhu.....dia ga tahu Win.....gimana gue belajar mati-matian.... Dia ga
pernah lihat kamar gue, Win....yang ampe dirubuhkan Papa karena udah terlalu
penuh catatan....Dia ga tahu, Win.....huwaaaaa....”
Wina
menggut-manggut mengerti. Wina mengusap-usap kepala Renata sekenanya....ga
niat-niat amat sih menghibur sepupunya itu. Menurut Wina, memang jalan hidup
Renata terlalu banyak lika-likunya. Jika orang lain tumbuh berkembang menjadi
pribadi yang makin matang setelah cobaan hidup bertubi-tubi, maka Renata
berkembang menjadi mesin pengetahuan berjalan. Sangkin banyaknya pengetahuan
itu, otak Renata malah jadi sinting. Renata bukan hanya ditolak cowok idolanya,
dia bahkan ditolak masyarakat. Karena terlalu banyak tahu mengenai banyak hal
namun tidak dilengkapi kemampuan mengerem dengan benar, Renata berkembang
menjadi musuh banyak orang. Para wanita membencinya, para lelaki
menghindarinya.
“Pengetahuan
gue sampah, Win...... Sampah......!!! Emangnya dia ga bisa cari perumpamaan
yang lebih baik, Win?”
“Iya....iya....dia
bego. Udah Ren, ga usah nangis terus....keburu Om pulang. Ntar kamar lo
dibongkar lagi.
“Eh?”
Renata mengusap-usap air mata dan ingusnya. Dia yang tadi depresi tingkat dewa
berubah 180 derajat jadi ngeri tingkat mahadewa. “Papa pulang?! Kapan?”
“Udah
naik taxi ke sini,” jawab Wina kalem.
Sayangnya,
hal itu berarti tornado bagi Renata.
Papa
Renata adalah manusia logis. Terkadang dia bisa berperasaan sih...tapi jarang.
Katanya otak Kiri Papa Renata bekerja terlalu cepat hingga otak kanannya
tertinggal satu minggu di belakang. Berkat Papanya, Renata jadi gadis yang
tumbuh tanpa menyadari dengan pasti perbedaan karakter cewek dan cowok.
Katakanlah Renata adalah contoh anak orang terkenal yang bernasib menyedihkan.
“
Win....Win....harusnya loe kasih tau dari tadi....,” rengek Renata sembari
memoleskan masker di wajahnya. “Papa bisa ngamuk kalo liat bekas air mata di
wajah ku.”
“Aku
mau ngomong sih....kamunya sibuk cerita tentang senior mu yang kata mu keren,
hampir setara tingkat kecerdasannya dengan Om Sian, tapi nyatanya nganggep kamu
sampah, Ren..” Wina menjawab santai, sembari membantu Renata mengiris mentimun
untuk penutup mata.
“Kalo
paswordnya Papa kan gue bakal langsung diem. Mana timunnya?”
“Nih,”
Wina menyerahkan dua potong timun pada Renata, sisanya dia makan.
“
Gue mau baringan di depan TV. Kita anggap pembicaraan tadi ga ada ya.”
“Coklat
bar 10 bungkus ya.”
“Gila!
Naik terus jumlah coklat tutup mulut mu! “
“Masker
dah mulai keras tuh....jangan banyak ngomong!”
Maka,
berakhirlah melodi patah hati Renata untuk sementara waktu. Dua bersaudara itu
menyetel saluran berita di TV Kabel. Baru sebentar, ternyata Papa Renata muncul
dalam pemberitaan.
“Wah...Om
Sian makin tua makin ganteng aja ya.... kok ga ada sih yang mau daftar jadi ibu
tiri kamu, Ren?”
Renata
melempar bantal ke arah Wina, dan meleset. Gimana lagi...matanya ditutup timun.
Renata tidak bsia mengumpat, karena maskernya sudah mengeras.
“Kekekekeke....
mana ada sih wanita yang mau jadi ibu tiri cewek aneh kayak kamu,” cibir Wina.
“Mama aja heran kok kenapa Tante Lena mau nikah sama Om Sian. Jadi kangen deh
sama Tante Lena.”
Adalah
sebuah misteri bagaimana bisa Papa Renata, Sian, menikah dengan Mama Renata,
Lena. Konon, Sian adalah cowok populer yang paling sering ditolak cewek karena
segala sesuatu dihitung dengan logika. Kebetulan Lena adalah orang paling sabar
yang mendengar semua curhatan Sian. Sesungguhnya, Lena hanya tidak tahu
bagaimana menanggapi sudut pandang Sian yang begitu logis mengenai penolakan
cewek-cewek. Lena bahkan bingung karena nama wanita yang disebut hari ini beda
dengan yang kemarin, dan terus berganti-ganti sampai dia ga tahu benang merah
cerita Sian. Lena pun tak punya maksud selama dia dekat dengan Sian. Hanya
karena Sian enak jadi teman mengerjakan tugas. Ditanya apa saja pasti bisa
jawab. Lena tak perlu mencari buku. Kadang Sian sudah sibuk membawakan setumpuk
buku entah dari mana setiap kali Lena bertanya tentang tugas kuliahnya.
Kemudian,
terjadilah human error dalam diri Sian. Suatu hari, ketika dia mengalami demam
karena diguyur air es oleh salah satu wanita yang dilukainya, dan tak ada orang
lain yang bisa dia hubungi kecuali Lena, Sian mengalami disconetion brain
system. Ketika Lena datang, kemudian menyuapinya dengan bubur, Sian tidak
bisa membedakan antara bubur itu enak atau tidak. Saat Lena meletakkan kompres
di kepalanya, Sian tidak tahu yang dia rasakan panas atau dingin. Tatkala Sian
melihat Lena membersihkan apartemennya, Sian tidak tahu itu mimpi atau nyata.
Ketidak tahuannya membuat Sian merasa dirinya sudah jadi gila. Sian merasa
otaknya berhenti bekerja, syarafnya kacau, dan menduga dirinya terkena gejala
stroke. Begitu demamnya turun dan dia mendapati apartemennya kosong, hanya dia
sendiri yang ada di sana, dia lebih bingung lagi, karena dia yakin selama
beberapa waktu Lena mondar-mandir di sana. Maka, awal mula cerita kelahiran
Renata pun dimulai dari ketidak tahuan Papanya.
Ah..kita
ikuti dulu cerita Renata.
Renata
yang pura-pura mengikuti berita dengan santai sembari maskeran, supaya bekas
air matanya dan sembab di matanya tidak ketahuan, tetap saja terkejut ketika
mendengar suara pintu dibuka. Papanya, seperti biasa tampak sempurna seperti
manekin di butik desainer. Mulai dari sepatu hingga kaos polo tampak sempurna
dikenakan Papanya. Namun, kesempurnaan itu mengandung bahaya.
“Apa
kabar, gadis-gadis?” sapa Papa Renata. Dia meninggalkan kopernya begitu saja
dan menghapiri putri tunggalnya dalam beberapa langkah panjang. Jantung Renata
sempat melompat karena gugup. Untunglah, Papa tidak bisa langsung melihat
ekspresinya karena tertutup masker.
“Heip...aaaa...”
jawab Renata tidak jelas.
“Hai
Om, tetep ganteng aja nih,” sapa Wina manis. Sian langsung mengusap-usap kepala
Wina penuh sayang. Sian selalu luluh dengan ucapan manis keponakannya, meski
tahu kadang cuma manis di bibir.
Sian
juga mengacak-acak rambut putrinya yang sedang tiduran santai sambil maskeran. “
Hi, Dear. Long time no see you.”
Renata
hanya manggut-manggut.
“
How can I kiss your cheek, Dear?” Sian menatap wajah anaknya jadi hijau kaku
karena masker. Karena sebal, dibuangnya dua iris mentimun yang menutupi mata
Renata. Seketika, dilihatnya dua mata berwarna hitam kelam yang amat
dirindukannya, “ How are you, Dear?”
“Paiiiin....”
jawab Renata bergumam.
“What?!
Pain?!” Wajah Sian langsung serius. Dia tak akan memaafkan siapapun yang
membuat anaknya menderita!
“Fine,
Om.....Fine...,” jawab Wina menyelamatkan keadaan. Renata menghela nafas lega.
Sian
makin jengkel dengan masker hijau yang menutupi wajah putri tercintanya. “Cepat
hapus maskermu! Sekarang!!” perintahnya.
Renata
langsung bangkit, lari ke kamar mandi. Wina cekikikan.
Dikamar
mandi, Renata langsung merasa lega karena lolos dari bahaya. Dia menghapus
maskernya dan memastikan di cermin tak ada bekas air mata dan kantung mata yang
besar-besar. Misinya sukses. Papa tidak boleh tau dia barusan patah hati
dilengkapi penghinaan tentang pengetahuannya. Bisa-bisa cowok idolanya itu
berakhir dipenjara karena dituntut secara hukum oleh Papa.
Hiy...kok
serem ya?
Tiba-tiba
pintu kamar mandi diketuk. Jantung renata sempat melompat sebentar lalu balik
lagi. “ Dear, why you went so long at bathroom? Are you OK?”
Renata
meratap dalam hati, berdoa semoga Mamanya masih ada untuk membantu dia lolos
dari insting Papa yang kelewat tajam itu.
“
I’m fine, Pap. Wait a minute...” Renata membuka pintu kamar mandi dan disambut
pelukan papanya.
“I
miss you so bad, Dear.”
“I
miss you to, Pap.”
Adegan
kangen-kangenan antara Papa dan anak tunggalnya itu, adalah hal biasa bagi
Wina. Lebih seru sebenarnya kalo melihat mereka beradu pendapat, melebihi debat
calon presiden deh.
***
Hari-hari
patah hati Renata berlalu dalam ketagangan. Renata berjuang keras agar sikapnya
natural, sehingga tidak mengundang kecurigaan Papanya. Kebetulan sih, Papa
selalu melibatkan Renata dalam kegiatannya semenjak pulang dari seminar di Amerika.
Sebenarnya Renata akan sangat senang bila Papanya mendadak harus seminar di
Singapura atau Australia. Sayangnya ga ada undangan seminar sementara waktu
ini. Papanya mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk putri tunggalnya.
Sian
sengaja mengambil cuti beberapa minggu karena mendapat firasat aneh tentang
putri semata wayangnya. Saat dia ketiduran di pesawat, dia bermimpi Lena,
istrinya yang sudah meninggal, duduk di hadapannya dan mendengarkan Sian bicara
panjang lebar, sembari sesekali membetulkan kaca mata yang melorot. Itu adalah
saat-saat dimana Sian menjabarkan segala kemungkinan mengapa dia ditolak
seorang wanita. Tapi, dalam mimpi itu, Lena menyahut, “Pria mana lagi yang
menolak mu?” Sian langsung terbangun dari tidurnya.
Selama
Sian di Amerika, pikirannya tak tenang. Dia sering menelepon Wina untuk
mengecek kondisi putrinya. Kadang dia menelepon Renata langsung. Namun, hasrat
menelepon anaknya sudah keterlaluan, sehingga untuk menghilangkan kecurigaan,
dia menelepon Wina, juga sopir dan pegawai di rumahnya begiliran.
Begitu
sampai di rumah, dia belum menemukan hal-hal yang mencurigakan, kecuali masker
hijau kaku yang dipakai Renata saat itu.
“Papa
dapat undangan ke Mesir, kamu mau ikut?”
Renata
menyambut baik berita itu, namun tak mau ikut. “Enggak ah, Pap. Mesir panas.
Renata di rumah aja.”
“Setelah
dari Mesir, langsung ke London lho.”
“Serius?!”
Renata antusias. Dia pingin naik The Eye of London.
Sian
tersenyum karena umpannya disambut. “Serius. Makanya ikut sekalian ke Mesir
aja.”
“Ah....Renata
nyusul aja deh, Pap. Papa kan kalo lagi seminar suka nyuekin Renata. Kalo ke
London kan bisa ngajak Wina, Pap. Wina ada ujian sih minggu depan.”
“Biar
Wina yang nyusul.”
“Ga
mau. Papa kan mebosankan.”
“Papa
ga membosankan. Mama mu bilang Papa menyenangkan.”
Renata
ga bisa membalas kata-kata Papa deh. Kalo soal Mama, entah kenapa Papa jadi
sangat sensitif. Otak kirinya mendadak berhenti dan otak kanannya bisa menyusul
bahkan kadang melampaui sehari.
Mama
meninggal karena kondisinya menurun
drastis pasca keguguran. Sebenarnya sih kondisi tubuh Mama sehat, tapi
penyesalan Mama karena bayinya harus meninggal sebelum dilahirkan lah yang
membuat Mama jadi sakit parah. Lalu, setahun setelah calon adik Renata
meninggal, Mama juga meninggal. Papa sangat terpukul. Hanya Renata yang
kelihatan tegar. Keadaan malah berbalik, Renata yang lebih banyak mengurus
Papanya. Kata Papa, Renata seperti Mama saat mengurusi Papa ketika terkena
gejala stroke saat mereka masih kuliah.
Ah...cerita
gejala stroke yang berakhir manis. Sian langsung bergegas mandi dan berpakaian
rapi begitu kondisiinya sudah dirasa cukup sehat. Dia harus bertemu Lena, atau
dia akan mati karena ketidaktahuan. Lena biasanya menekuni buku psikologi di
sudut perpustakaan kampus. Di sanalah Sean akan pergi, jadi dia harus rapi.
Hampir saja Sian hendak berlari sekuat tenaga mencari Lena mengenakan pakaian
tidur. Syukurlah gejala stroke yang dia alami sudah hilang serta logikanya
sudah jalan. Sean memperhitungkan segala kemungkinan untuk bertemu Lena
secepatnya. Kemungkinan terbesarnya adalah Lena di perpustakaan.
Seperti
dugaan Sian, Lena sedang duduk di sudut perpustakaan. Dia sibuk menulis, dan
beberapa buku terbuka di hadapannya. Biasanya Sianlah yang membantu Lena
mengerjakan tugas, meskipun mereka berbeda jurusan. Sian mengambil kursi dan
duduk di seberang Lena. Dia mengamati, melihat kaca mata Lena yang melorot
berkali-kali saat dia menulis. Sian tersenyum tanpa disadarinya. Entah sejak
kapan pemandangan itu menjadi hal yang biasa dilihatnya. Kadang Sian merasa tak
sabar dan ingin membetulkan kaca mata Lena yang melorot. Kadang Sian ingin
membelikannya kaca mata baru yang tidak akan melorot. Namun Sian juga menikmati
saat-saat Lena membetulkan kaca matanya. Senyum Sian merekah terlalu lebar.
Sian bahkan masih tersenyum sangat lebar ketika Lena mengalihkan pandangannya
dari tugas, dia ketahuan.
“Kau
sudah sembuh?” tanya Lena. Matanya yang hitam legam menyiratkan kekhawatiran.
Sian
mengangguk. Tetap tak dapat menghentikan senyumnya sendiri. “Perlu bantuan?”
Lena
mengangguk. Lena memperlihatkan tugasnya, menjabarkan pada Sian
kesulitan-kesulitan yang dia temui. Karena mereka duduk berhadapan, Lena harus
membalik bukunya agar bisa dibaca Sian, dan menjulurkan tangannya. Sian
berinisiatif untuk pindah di samping Lena.
Mereka mengerjakan tugas Lena bersama-sama dan lupa pada gejala stroke
yang hendak ditanyakan Sian.
Renata
pun sebenarknya sudah lupa pada patah hatinya. Dia terlalu sibuk menyembunyikan
gejalanya, dan lupa bahwa penyakitnya sebenarnya telah sembuh. Hinaan seniornya
itu tak berarti apa-apa lagi. Jika bersama Papanya, pengetahuan adalah hal yang
berharga. Renata tahu itu. Meskipun banyak yang tidak mengerti jalan
pikirannya, Papa selalu mengerti maksud perkataan Renata, kadang malah memberi
masukan yang berharga. Jika bersama Papanya, Renata selalu terinspirasi untuk
belajar. Kadang Wina bilang mereka adalah pasangan ayah-anak yang lebih
mementikan membaca jurnal daripada makan. Wina pernah menyarankan agar Sian
mempelajari teknologi pemadatan makanan dalam pil semacam milik Doraemon. Jadi
dua ayah-anak itu tak perlu takut kehilangan waktu membaca karena harus makan.
Renata menganggap ide Wina keren, namun Papanya hanya tertawa dan tak
menanggapi.
“Papa
kangen Mama ya?”
“Selalu.”
“Kemarin
Wina tanya, kenapa ga ada yang mencalonkan diri jadi mama tiri ku...”
“Ga
akan,” potong Papanya.
“....karena
Papa sebenarnya.....,” Renata tertegun. Lupa dia mau bicara apa.
Sian
menatap wajah putrinya yang begitu mirip dengan wajahnya. Hanya mata Renata
yang sama persis dengan Lena. Semua gen yang muncul dalam diri Renata adalah
milik Sian, kecuali kromosom Renata XX tanpa Y dan sepasang bola mata yang
hitam legam. Renata yang begitu rapuh jauh lebih sedih kehilangan Mamanya, namun dia
bisa bangkit karena melihat Papanya yang menyedihkan. Sian ingat itu. “Why do
you look so sad, Dear?”
“Renata
minta maaf, Pap. Renata ga bermaksud.”
Sian
memeluk putrinya. Dia dulu bangga karena anaknya mewarisi semua sifat fisik
dirinya, namun dia sekarang bersyukur ada sifat Mamanya yang diwarisi Renata.
Ah..firasat itu...
“Dear,
I need you’r eksplanation about a silly boy who said ‘semua pengetahuan mu
sampah’. And why you put stupid green
mask to you’r beautiful face?” –Sayang, aku perlu penjelasan mu tentang bocah
menyedihkan yang bilang ‘pengetahuan mu sampah. Dan mengapa kau memakai masker
hijau bodoh pada wajah cantik mu –terjemahan oleh Renata.
“O
My God!!” teriak Renata spontan.
“Siapa
namanya?” tanya Papa Renata dengan senyum merekah, namun penuh kemarahan
dibaliknya.
Renata
susah payah menelan ludah. Dia telah dihianati Wina. Dia akan meminta balik 10
coklat bar yang dia berikan kemarin!
“My
Dear....?” Papa Renata menunggu jawaban.
“Aa.....itu
bukan masalah yang besar, Pap. Renata juga sudah lupa kok. Cuma bercanda
itu....bercanda...”
“Lalu
kenapa kau menutupi bekas airmata mu dengan masker hijau dan mentimun, Sayang?”
Ketahuan!
Sial!
“Renata
membersihkan bekas jerawat kok, Pap. Mentimunnya untuk menyegarkan mata Renata
karena kebanyakan baca buku.”
“Buku
macam apa yang kamu baca sampai mata mu sembab, Sayang?”
Mampus!
Sudah terpojok!
“Pap....please....,”
rengek Renata. Dia memeluk Papanya dan mengeluarkan jurus mengiba. Biasanya
selalu berhasil. Biasanya. Entah untuk kali ini.
Darah
Sian mendidih karena marah saat Wina menceritakan apa yang dialami Renata. Bocah
menyedihkan yang menghina putrinya adalah laki-laki bodoh yang menghina dirinya
juga. Sian langsung mengerahkan anak buahnya untuk mencari tahu seluk-beluk bocah
menyedihkan yang membuat putrinya menangis. Sian berencana menuntut bocah
menyedihkan yang menganggap pengetahuan sampah itu ke kumpulan sampah
masyarakat. Biar dia tahu definisi sampah dengan benar.
“Pap...please....jangan
dibesar-besarkan ya Pap... Please...demi Renata,” bujuk Renata mengiba. “Renata
ga diapa-apainn kok, Pap. Cuma dikata-katain... itu sih Renata sudah lupa, Pap.
Please ya Pap,,,,please...”
Renata
masih memeluk Papanya. Dia mendengar detak jantung Papanya begitu cepat. Ini
pertanda bahwa emosi Papanya sudah melewati zona aman. Hal yang sama yang
pernah diketahui Renata saat berita kematian Mama disampaikan dokter. Renata
berdoa dalam hati agar emosi Papanya tak seburuk saat itu.
“Pap...please
Pap....jangan marah... Please...”
Sian
tak akan menyerah begitu saja. Renata adalah hartanya yang paling berharga. Bocah
menyedihkan itu membuat Renata menangis. Sian pernah meruntuhkan dinding kamar
Renata karena sudah terlalu penuh catatan yang ditempel hingga tumbuh banyak
jamur tidak sehat disela-sela catatan itu. Bukan karena Renata mati-matian
belajar istilah politik saat berjuang mengejar cinta seorang politisi. Bukan.
Sian senang-senang saja melihat kegigihan putrinya. Tapi kali ini, ketika semua
hasil belajar Renata dianggap sampah, dia bahkan bisa meruntuhkan sendirian
rumah bocah menyedihkan yang melukai hati putrinya. Toh si bocah menyedihkan
itu hanya seorang calon dewan legislatif yang belum tentu terpilih. Sean bisa
mengenalkan arsitek muda, dokter bedah muda, ahli enginering muda, milyuner
muda, bahkan pemain sepak bola Manchester United muda pada Renata. Mengapa
putrinya harus menerima penghinaan begitu dari bocah menyedihkan calon
legislatif yang hanya akan menjadi koruptor.
“Pap...please
Pap....lupakan masalah itu, Pap... Please...,” Renata memohon-mohon sampai
terisak-isak. Detak jantung Papanya benar-benar menghawatirkan. Renata takut
papanya mendadak kena Stroke. Dia tak mau kehilangan keluarganya lagi. Itulah
kenapa tangisnya makin pecah.
Sian
marah sekaligus bingung. Kenapa putrinya menangis sekarang? Apakah dia begitu
mencintai bocah menyedihkan itu? Tapi Sian tak mau punya menantu macam dia yang
menganggap pengetahuan sampah.
“
Oh Dear...., Papa tidak bisa membiarkan mu terluka seperti ini. Papa akan
membuat bocah menyedihkan itu menyesal telah menghina mu. Tapi papa tidak bisa
menyetujui hubungan kalian. Papa tidak mau punya menantu yang picik.”
Renata
mendadak berhenti terisak-isak, “Papa ngomong apa sih? Renata belum mau menikah
kok.”
“Sebegitukah
kau cinta pada bocah itu sampai menangis membelanya?” tanya Sian penuh emosi.
Dia lebih baik menyerahkan gelar profesornya asal putrinya menikah dengan pria
baik-baik.
Renata
menatap Papanya cukup lama, perlu waktu untuk mencerna ucapan papanya. Dia
tidak menangsi demi membela orang yang menghina dirinya. Tidak. Tapi kenapa
Papanya mengira begitu?
“Maksud
Papa?”
“Apa
kamu cinta banget sama dia sampai nangis-nangis minta Papa memaafkan dia?”
Renata
menatap Papanya lagi. Kali ini tatapan jengkel Papanya benar-benar menakutkan.
Sian
menatap putrinya heran. Sekarang Renata bahkan tak mengerti makna kalimat
sesederhana itu. Apakah otak putrinya sudah tercuci gara-gara jatuh cinta pada
bocah menyedihkan itu?
“Renata
ga nangis untuk dia kok.”
“Lalu?!”
jawab Sian sengit.
“Renata
takut Papa kena stroke karena marah,” jawab Renata sembari terisak-isak. Renata
menunjuk jantung Papanya yang sedari tadi berdetak sangat cepat karena emosi.
“Jantung Papa kayak mesin.”
Seketika
amarah Sian menguap entah kemana. Dia baru menyadari bahwa Renata
menghawatirkan dirinya, bukan karena membela bocah menyedihkan yang
mencampakkannya. Renata menangis karena khawatir. Kekhawatiran putrinya
tercermin begitu jelas dari kedua matanya. Dia mengenali tatapan penuh kasih
itu. Tatap itulah yang membuat Sian jatuh cinta pada Mama Renata bertahun-tahun
silam.
Malam
sudah turun, tinggal sedikit pengunjung di perpustakaan. Sudut dimana Sian dan
Lena duduk sudah sepi, hanya tinggal mereka berdua. Ketika Sian melayangkan
pandangan ke arah langit di luar sana, menyadari betapa indah warna jingga
ketika senja, Lena meletakkan telapak tangannya ke dahi Sian. Sian terkejut.
“Kau
sudah benar-benar sembuh? Tidak demam lagi?” tanya Lena khawatir.
Sian
tak menyadari, betapa dekatnya mereka duduk. Bahu Lena benar-benar berhimpitan
dengan bahunya.
“Ada
yang merawat ku,” jawab Sian lirih.
Lena
tersenyum karena tahu yang dimaksud adalah dirinya. Lena kembali menekuni
tugasnya setelah memastikan Sian sehat. Menulis dengan cepat dan lagi-lagi kaca
matanya melorot. Sian tidak tahan lagi kali ini, tangannya benar-benar bisa
menjangkau kaca mata Lena. Segera dibenarkannya letak kaca mata Lena. Lena menatap
Sian, berterimakasih. Lalu kembali lagi menyelesaikan tugasnya.
“Berapa
suhu ku waktu demam?” Sian membuka percakapan tentang kondisi medisnya.
“
Hampir 40 derajat,” jawab Lena sambil menulis tugasnya.
“Sungguh?
Wow..,” Sian terheran-heran sendiri. “ Ku pikir aku kena gejala stroke.”
“Aku
ketakutan saat itu. Ku pikir kau akan mati.”
“Oh
ya? Apa yang membuat mu takut?”
Lena
meletakkan penanya. Dia menatap Sian penuh kekhawatiran, seakan kejadian
menakutkan itu baru terjadi. “Ketika aku datang, kau terbaring di sofa, tubuh
mu panas sekali. Aku berusaha mengompres mu, tiba-tiba kau duduk, tapi kau
malah jatuh dari sofa.”
“Kau
pasti terkejut,” sahut Sian iba.
“Ya,
aku sedang mencari es batu di kulkas. Kau terhuyung-huyung berusaha berdiri.
Aku membantu mu, lalu menuntun mu ke tempat tidur, tapi kau berat sekali. Aku
setengah menyeretmu. Kau mengigau tak karuan. Saat aku berusaha memberimu obat,
kau muntah kan lagi. Aku bingung.” Kebingungan Lena tergambar jelas di matanya.
“Aku membuat bubur. Ku campurkan obat penurun panasnya dalam bubur.”
“
Aku benci obat pahit,” Sian menjelaskan. “Lalu, kenapa aku ingat kau
membereskan apartemen ku?”
Lena
tidak langsung menjawab. Dia tampak salah tingkah. Lena berniat melanjutkan
tugasnya, tapi Sian mencegahnya. Dia menahan kedua tangan Lena agar tidak
memegang pena atau kertas.
“Aku
juga ingat, kompres yang kau berikan terasa dingin, namun terkadang panas. Aku
tak bisa membedakannya. Ingatan tentang bubur yang tak dapat ku gambarkan
rasanya sudah terjawab, namun yang lain tidak.” Sian menatap Lena lekat-lekat,
“Bisa kau jelaskan?”
Lena
menggigit bibirnya karena cemas. Dia tidak berani menatap Sian, dia pura-pura
memperhatikan kertas tugasnya. Tapi kedua tangannya ditahan oleh Sian.
“Aku
tak akan marah,” bujuk Sian.
“Sungguh?”
Lena dengan takut-takut menatap Sian. Sian mengangguk tanda setuju. Pelan-pelan,
Lena menjelaskan, “Aku memecahkan akuarium mu. Itu...itu terjadi saat aku
setengah menyeret mu ke tempat tidur. Karena kau berat, aku kehilangan
keseimbangan dan...dan siku ku menyenggol akuarium mu. Emm...karena kau berat,
aku setengah melempar mu di tempat tidur, dahi mu terbentur sudut tempat
tidur...jadi...jadi aku mengompres
dengan telur rebus agar memar mu hilang. Kau muntah saat aku memberimu obat,
jadi aku meminjam kaos mu sementara waktu, karena baju ku kotor, aku
mencucinya... maksud ku...sampai baju ku kering aku pinjam kaos mu dulu... Aku
langsung mencucinya begitu bajuku bisa ku pakai lagi....” Lena berhenti
sejenak. Wajahnya merah karena malu.
“Masih
ada lagi?” Sian tidak perlu penjelasan lagi sebenarnya. Terjawab sudah
pertanyaan yang dia ajukan, tapi dia ingin mendengar Lena bicara.
Lena
mengangguk. Kacamatanya melorot lagi saat dia mengangguk. Sian gemas sekali
dengan kaca mata itu. Dia membenarkan letaknya. Kemudia memberi kesempatan Lena
bercerita lagi. “Aku terkejut saat tahu suhu mu hampir 40 derajat. Jadi aku
pikir aku harus menjaga mu. Aku mengambil selimut dan tidur di sofa. Aku minta
maaf, sudah bersikap tidak tahu malu begitu. Aku khawatir. Benar-benar
khawatir. Jika aku meninggalkan mu, aku takut kau mati. Maafkan aku.”
Lena
terdiam. Dia menunggu reaksi Sian. Dia sangat malu karena menginap di rumah
laki-laki yang bukan saudaranya tanpa izin. Sian sama sekali tidak merasa
tindakan Lena salah. Dia sangat berterimakasih karena Lena sudah menjaganya.
Namun Sian penasaran, mengapa Lena begitu menghawatirkan dirinya seperti tak
ingin kehilangan dirinya.
“Mengapa
kau takut aku mati?” tanpa direncanakan, Sian menanyakan pertanyaan itu. Dia
sendiri terkejut.
Lena
menatap Sian begitu dalam, mungkin karena kedua bola mata Lena beigtu hitam,
sehinga Sian mengalami ilusi. Yang Sian tahu, tatap itu begitu teduh dan
membuatnya terhipnotis. “Kau tidak pernah baca berita? Manusia bisa mati jika
suhu tubuhnya lebih dari 40 derajat,” jawab Lena setengah marah. “Bagaimana
mungkin aku bisa meninggalkan mu....”
Sian
tertegun. Dia tersentuh mengetahui kepedulian Lena yang tulus.
“Berapa
lama kau menginap di rumah ku?”
“Dua
hari,” jawab Lena malu.
Sean
tersenyum dan menagkup wajah Lena dengan kedua tangannya, “Menginaplah sesukamu
setelah ini. Jangan pulang kalau perlu.”
Sian
mencium Lena sekilas. Namun kaca mata Lena mengganggunya.
“Kau
tahu, aku berencana membuang kaca mata mu,” Sian melepas kacamata Lena dan
meletakkannya di meja. “Kau perlu kacamata baru.”
“Tapi.....,”
Lena hendak memprotes namun tidak bisa. Sian sudah menciumnya lagi.
***
“Jadi,
malam itulah aku diciptakan, Papa?” tanya Renata menuntut jawaban. “Aku tak
menyangka Papa ku seorang pria yang begitu berani.”
Renata
dan Papanya sedang merajut syal bersama. Ayah-anak itu suka membuat syal saat
mereka merindukan sosok Mama. Karena Mama suka membuat syal.
“Jangan
meremehkan Papa. Papa tidak seburuk dugaan mu.”
“Lalu?
Apa yang terjadi setelah Om mencium tante Lena?” Wina ikut nimbrung.
“Apa
lagi? Mereka pasti lupa segalanya. Dan aku tercipta. Sesederhana itu, Wina.”
“Jangan
menuduh,” Papa Renata menatap Putrinya tak percaya. “Papa dan Mama masih tahu
sopan santun.”
“Ah...ga
seru deh ceritanya, Om,” Wina memprotes sembari mengunyah coklat pemberian Sian
sebagai imbalan atas informasi yang dia beberkan.
“Lalu,
apa yang terjadi setelah ciuman pertama kalian?” Renata menatap Papanya
menyelidik.
“Kami
berhenti berciuman, saat lonceng jam tujuh berdentang. Lena langsung
menyibukkan diri dengan tugas, dan aku tahu dia sebenarnya tidak bisa berhenti
memkirkan ku. Papa juga tak bisa jauh-jauh dari dia. Lalu dia menyuruh Papa
mengembalikan buku-buku ke raknya. Sebenarnya Papa enggan, tapi ada petugas
perpustakaan yang mengingatkan kami jam tujuh tiga puluh perpustakaan tutup. Papa
terpaksa mengembalikan buku-buku itu. Lalu Mama mu sudah hilang saja dari
sana.”
“Hahahahaha....Papa
dicampakkan...” Renata sangat senang bisa menyindir Papanya. Meskipun dia tahu
ucapannya keliru. Jika benar begitu, Renata tak kan lahir ke dunia ini.
“Papa
tak tahu dimana tempat tinggal Mama mu. Tapi hari berikutnya Papa bertemu lagi
dengan dia, dan tak membiarkan dia lolos lagi. Papa tahu alamatnya dari petugas
administrasi.”
“Apa
yang Papa katakan pada petugas itu sampai dia mau membocorkan informasi pribadi
mahasiswa?”
“Papa
bilang, Mama mu sedang hamil anak Papa. Papa harus segera menemuinya agar bisa
menikah.”
“Kyaaaa....!!!
Om Sian keren!” teriak Wina semangat.
“Tapi
Papa dimaki-maki Kakek begitu tiba di rumah Mama,” Renata sangat senang bisa
menertawakan Papanya. Renata dapat cerita ini dari kakeknya sendiri.
“Itulah
yang tidak Papa perhitungkan. Petugas administrasi itu masih saudara jauh Kakek
mu. Hahahahaha....”
“
Aku iri....,” teriak Wina histeris. “Pantas Tante Lena mau menikah sama Om. Om
keren banget kayak pangeran berkuda putih di cerita dongen.”
“Hahaha...kamu
memang selalu pintar mencari perumpamaan, Win.”
Renata
menatap foto keluarganya yang terpajang di dinding. Dia melihat betapa orang
tuanya saling mencintai. Dia benar-benar merindukan Mamanya. “Ma, aku rindu
Mama.”
Papa
Renata meletakkan rajutannya, lantas mengacak-acak rambut putri tunggalnya itu.
“Ma,
anak mu ini sudah berani jatuh cinta, Ma. Tapi gagal. Itu lebih baik, Ma. Dia
jatuh cinta pada bocah menyedihkan. Aku yakin kamu juga tak akan setuju, Ma.”
“Papa
jahat!”
“Bener,
Tante.... Doain Renata dari sana ya, Tante, supaya dia ga salah naksir cowok
lagi.”
“Winnnnaaaa...........,”
geram Renata mengancam.
Ting!
Tong!
“He?
Tumben ada tamu. Tukang POS ya Om?”
“Nganter
undangan buat seminar di London ya, Pap?”
Sian
beranjak dari tempat duduknya. Dia tersenyum menatap dua gadis manis
kesayangannya itu. “ Itu cowok berkualitas yang mau Papa jodohin sama kamu,
Sayang. Untuk Wina juga, kalo kamu mau.”
Dua
bersaudara itu saling bertatapan, heran ga percaya. Begitu Papa Renata
menghilang dari ruang tengah, mereka langsung bangkit, mencoba mengintip dulu
siapa tamunya biar nanti ga kaget-kaget amat saat diperkenalkan.
“Idih,
Om Sian main jodoh-jodohan....kuno.”
“He’eh...kalo
jelek, kita kabur aja ya.”
Begitu
tamu yang dimaksud itu dipersilakan masuk, Renata dan Wina berteriak dalam hati.
Kegirangan.
“
Come here, Dear...,” ajak Papa Renata agar putrinya dan keponakannya mendekat.
“ I introducing Duke from London and his best friend Manchester United Member.”
“
Hi, how are you.....,” jawab Renata dan Wina kompak.
***
Catatan: Mario Teguh pernah bilang,
“Jodoh kita ada banyak. Jadi kalo ketemu si A ga cocok jangan putus asa,
ada si B. Ga cocok lagi, ada si C.....terus begitu sampai kita menemukan yang
cocok. Jadi jangan bersedih”
Hehehehe.....jadi
pembaca, jangan putus asa ya. Ratih jug amasih mencari kok (^o^)/
Jika ada kesalahan penulisan gramar dan speling dalam bahasa Inggris, mohon dimaklumi dan diberi saran yang benar yaa.... (^^)v