Translate

Rabu, 06 Februari 2013

Horor di Kampus


Kampus tampak lengan pada jam 6 sore. Lorong-lorong diantara ruang kelas senyap tanpa kegiatan mahasiswa. Begitu pula lorong-lorong laboratorium. Nyala lampu darurat di ujung tangga justru menambah suasana seram lorong-lorong ini. Anti memberanikan diri untuk berjalan di salah satu lorong di lantai dua gedung laboratorium. Dia harus mengembalikan timbangan analitik yang dipinjamnya untuk menimbang tanaman cabai hasil penelitiannya. Nyalinya ciut, apalagi setelah mengetahui cerita-cerita seram tentang penghuni lain di laboratorium bila malam tiba. Dia tak ingin menjadi saksi hidup atas kejadian menyeramkan seperti itu. Akantetapi membawa pulang timbangan bisa dianggap kejahatan serius di kampus. Meski dia takut, Anti berjuang memberanikan dirinya.

Anti menarik nafas dalam-dalam. Dia mulai menapakkan kaki kanannya. Aman. Tidak terjadi apa-apa. Kepercayaan Anti langsung bertambah. Dia semakin yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja. Meski masih tersisa sedikit keraguan, Anti melangkah menuju laboratorium produksi tanaman.

Anti mulai merasakan ada yang aneh di lorong itu. Dia memang tidak terjatuh dalam lubang yang mendadak muncul atau melihat penampakan hantu. Tidak. Dia tidak mendapati semua itu. Yang dirasakan Anti adalah gema langkah kakinya sendiri di lorong. Anti meyakinkan dirinya, bahwa gema itu terjadi karena lorong itu senyap. Anti yakin, gema semcam ini juga terjadi bila banyak mahasiswa berjalan di sana, hanya saja mereka tidak memperhatikannya karena suara obrolan jauh mendominasi. Lalu Annti mulai yakin. Dia yakin bahwa sura gema itu berasal dari dua langkah kaki yang berbeda. Jika yang pertama adalah milik Anti, lalu yang kedua milik siapa?

Anti memperlambat jalannya. Dia memindahkan beban titik tumpu kakinya agar suara langkahnya melemah. Anehnya, sura langkah ke dua itu pun melambat dan melemah. Anti menatap lurus ke depan, dia melihat pintu laboratorium produksi masih sekitar empat meter. Dengan sekuat tenaga, Anti mempercepat langkahnya, semakin cepat, hampir berlari.seramnya suara langkah kaki ke dua itu pun semakin cepat, seiring dengan langkah kaki Anti. Begitu sampai tepat di depan pintu laboratorium produksi, anti langsung meraih kunci yang ada di sakunya, berjuang secepat mungkin membuka pintu, dan tidak melihat. Sayangnya rasa gugup Anti justru membuat dia tidak bisa memasukkan kunci ke lubangnya dengan benar. Anti semakin panik.

Lalu, sesuatu menyentuh bahunya. Sekujur tubuh Anti langsung terasa dingin. Dengan gemetar, dia masih berjuang membuka pintu laboratorium produksi. Tangannya bergetar makin hebat dan tubuhnya semakin dingin. Dalam hitungan detik, Anti menyadari ada sesuatu tercermin di kaca pintu laboratorium produksi. Sesuatu yang pastinya ada tepat di belakang Anti. Berharap bayangan itu tak nyata, Anti menoleh memastikan apa yang ada di belakangnya.

“Kyaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!” suara Anti menggema di lorong gedung lantai dua.                        

***


Pras sedang memanaskan air dengan teko kecil yang diam-diam ia simpan di loker. Profesornya pasti akan menegur bila mengetahui kegiatan sampingan Pras di laboratorium. Pras sering membuat kopi dan mie instan di sela-sela kesibukannya melakukan penelitian. Sejauh ini belum ada yang tahu teko ajaib simpanan Pras. Beberapa mahasiswa lain yang terpaksa tinggal di laboratorium hingga larut lebih sering membeli kopi atau makanan dari kantin kampus yang memang disediakan hingga jam sembilan malam. Karena Pras malas bila harus turun ke lantai satu, dia menyelundupkann teko kecil untuk memasak air.

Pras sudah merasa mengantuk padahal masih jam enam. Jika diingat sih dia baru tidur tiga jam selama dua hari terakhir. Maka Pras berinisiatif membuat secangkir kopi untuk mengusir kantuknya. Tepat ketika air di tekonya mendidih, Pras mendengar suara wanita menjerit dari lorong-lorong gedung. Pras langsung menahan nafas. Dia berharap suara lengkingan itu muncul lagi agar dia dapat mengtahui dengan pasti posisi suara itu berasal. Sayangnya harapan Pras tidak terkabul. Gedung kembali senyap. Hanya suara air mendidih yang dapat didengarnya.
***

Telepon yang tiba-tiba berdering mengejutkan Yulia yang sedang konsentrasi mengecat jaringan batang jagung. Kekagetannya membuat pipet yang dipegangnya jatuh dan cairannya mengotori kertas catatan Yulia. Merasa kesal bercampur kaget, Yulia segera membersihkannya dengan tisu. Sembari bergumam jengkel, dia mengangkat telepon laboratorium. “Halo!”

“Heh, Yul! Kamu denger ga barusan ada suara cewek teriak?!”

“Ck! Kamu to Pras. Ngagetin aja. Laktofenol ku jadi tumpah gara-gara telpon mu!”

“ Heeeeh, itu ga penting tau. Kamu denger ga sih ada suara cewek teriak?”

Yulia memutar bola matanya, mencoba mengingat-ingat, namun tidak ada suara teriakan cewek yang dia dengar, “ga tuh.”

“Masa sih? Dari sini aja kedengeran. Kuping mu pasti kotor banget.”

“Sialan kamu! Udah ah, ga penting. Aku mau lanjut kerja nih.”

Yulia langsung menutup telepon paralel antar laboratorium tersebut. Dia kembali menekuni pekerjaannya mengecat jaringan batang jagung. Ketika Yulia berhasil meneteskan cairan laktofenol dengan benar pada preparatnya, dia mendengar ada suara pegangan pintu ditarik dengan paksa. Yulia langsung waspada. Dia meletakkan alat-alat yang dipegangnya, kemudia mengalihkan perhatian pada pintu laboratorium. Ada yang mencoba membuka pintu itu dari luar. Yulia sengaja menguncinya tadi. Dia sering tidak sadar bila sudah berkonsentrasi pada penelitiannya. Dia khawatir ada orang yang diam-diam masuk ke laboratorium dan tidak disadarinya sama sekali. Itulah gunanya mengunci pintu, Yulia akan tahu bila ada orang yang berusaha masuk.

Orang itu makin kasar menarik-narik pegangan pintu. Dia membuat kaca pintu bergetar. Penasaran sekaligus kesal, Yulia memutuskan untuk melihat siapa yang mencoba masuk tersebut. Dia pasti akan memarahinya habis-habisan.

Yulia menyibakkan tirai yang menutupi kaca pintu laboratorium. Namun dia tidak melihat siapa-siapa. Lorong tampak remang-remang dengan penerangan lampu darurat. Ingin memastikan bahwa memang ada orang yang tadi mencoba masuk, Yulia membuka pintu perlahan-lahan. Blak! Tidak ada siapa-siapa. Yulia menjulurkan kepalanya memeriksa koridor, tetap saja tak ada siapa-siapa. Yulia tiba-tiba merinding. Buru-buru dia menutup pintu kemudian menguncinya lagi.

Yulia memutuskan untuk kembali bekerja. Kembali dia tekun mewarnai jaringan batang jagung di depan mikroskop. Lima menit berselang, lalu ada seseorang atau sesuatu yang kembali mencoba membuka pintu laboratorium. Kali ini Yulia langsung bergegas membuka tirai di pintu. Dia akan langsung memarahi orang itu. Sayangnya, lagi-lagi tidak ada sapa-siapa di balik pintu tersebut. Langsung ditutupnya tirai. Tanpa pikir panjang Yulia meraih telepon paralel.

***


Telepon berdering. Kali ini tidak hanya sekali. Setelah deringan panjang yang pertama selesai, dering panjang ke dua dimulai. Yahya tak begitu memperhatikan bunyi telepon seluler yang terletak dekat pintu masuk. Dia ada kira-kira empat meter dari telepon itu. Dia sedang mengankat sekeranjang penuh bungkusan tanah. Pekerjaannya lebih mirip kuli sebenarnya, mengangkat beberapa karung tanah dari rumah kaca, kemudian menimbangnya, lalu mengemasnya dalam plastik dengan berat tiga kiloan. Sudah begitu laboratoriumnya tidak memiliki AC. Dia bahkan tak mengenakan jas lab sama sekali. Memakai jas lab sambil bekerja seperti itu ibarat neraka jahanam. Toh badan Yahya sudah jadi otot semua tanpa lemak. Karena Yahya tak kunjung mengangkatnya, dering telepon itu berbunyi. Selang setengah menit telepon itu berbunyi lagi. Yahya pun tetap tidak mengangkatnya. Telinganya terlalu sibuk mendengarkan dengung blower dan bunyi inkubator shaker.

Yahya teralihkan dari bungkusan tanahnya ketika ada yang mengetuk pintu laboratorium. Ternyata ada petugas keamanan kampus yang menegoknya. “Masih lama, Mas Bro?”

“Iya, Pak. Masih buanyak kerjaanya.”

“Mas, Bro, itu ada telpon. Dari tadi bunyi terus. Tak kira mas Bro lagi keluar, makanya saya cek.”

Yahya bergegas menghampiri Pak petugas kemanan. Pada akhirnya dia baru tahu ada telepon masuk. “Wah, iya. Makasih Pak diingatkan.” Yahya mengucapkan terimakasih dengan tulus.

"Halo,” namun yang didengar Yahya hanyalah suara nafas yag memburu.  “Halo. Ini siapa ya? Halo?” Yang didengar Yahya hanyalah suara nafas yang memburu, sesekali rengekan. 

Merasa heran, sekaligus penasaran, dahi Yahya berkerut. Melihat reaksi Yahya, si petugas keamanan mengurungkan diat untuk kembali ke bagian resepsionis. Instingnya sebgaia petugas keamanan menangkap adanya ancaman bahaya. “Kenapa, mas Bro?”

“Ga tau, Pak. Telponnya aneh. Denger deh,” Yahya menyerahkan gagang telepon pada Petugas kemanan. “Cuma orang ngos-ngosan.”

“Iya, Mas,” Petugas kemanan itu menyetujui Yahya. “ Ini siapa ya?” Namun yang di ujung lain sambungan telepon malah menangis. Terdengar sedu-sedan yang ditahan dan nafas yang memburu. “Mas, ini aneh. Sepertinya dia ketakutan.”

“Tapi siapa ya Pak? Kalo dia bilang dia siapa dan ada di mana, kan bisa kita jemput,” komentar Yahya.

Rupanya kata-kata Yahya tertangkap oleh si penelepon. Dengan terbata-bata dan tidak jelas, si penelepon mulai menggumamkan sesuatu. “Hkks....hhhh...jar...hhh.. jari...huhuhuhu....hhhh...jari....”

“Mas, dia mulai ngomong!” seru Petugas keamanan merasa mendapat petunjuk. Dai dan Yahya mendekatkan telinga pada gagang telepon, maksudnya mendengarkan bersama.

“Jari...Hiks....hhhhh.....huhuhu...Jngan.....Jngan...hiks....hhhh...”

Keduanya bingung. Mereka saling berpandangan dan berfikir. Jari? Jngan? Apa.........ada jari tangan jalan-jalan sendiri di lab?! Keduanya lantas begidik.

“Halo. Halo. Tolong bicara yang jelas. Halo. Maksudnya jari apa? Maksudnya Jngan apa?” teriak Yahya panik.

“Hwaaa!!!! Haaaaa!!!” mendadak si penelepon berteriak histeris. Jantung Yahya dan Petugas kemanan itu seakan mau copot. Mereka reflek melempar gagang telepon ke meja. Setelah histeris agak tenang, si penelepon kembali mengatakan sesuatu yang tak jelas. “Huhuhuhu....jaring...hhhhhh....jaringn.... hiks...hiks....sini....”

Setelah cukup tenang, Yahya langsung menyambar telepon itu dan bicara dengan tegas, “Kamu di situ saja. Tutup teleponnya. Aku akan segera menjemput.”

“ Jangan ditutup, Mas Bro. Ini satu-satunya jalan agar dia terhubung dengan dunia luar. Kalau sampai ditutup, dia bisa tertelan ke dunia lain,” kata Petugas keamanan agak histeris.

“He?! Gitu ya, Pak?!” Yahya langsung menuruti saran Petugas keamanan. “Jangan tutup telponnya! Jangan tutup! Apapun yang terjadi kamu jangan tutup telponnyaaaaaaaa!!!!!” teriak Yahya lebih keras daripada suara bom.


***


Kemudian, Yahya meninggalkan telepon kepada Petugas keamanan yang sebenarnya ketakutan. Yahya langsung berlari menyusuri koridor lantai Satu dan menyalakan semua lampu di lorong. Dia memeriksa satu demi satu kondisi di dalam laboratorium. Semua gelap. Tak ada yang menyala. Ketika matanya menangkap tulisan ‘Laboratorium Mikrobia’ otaknya langsung berputar. Laboratorium Mikrobia, Laboratorium Ekologi, Laboratorium Zoologi, Laboratorium Penyakit, Laboratorium Genetika, Laboratorium Kimia Organik, nama-nama laboratorium di lantai satu sudah disebut semua. Mungkin si penelepon bermaksud mengatakan Laboratorium Jaringan. “Whaaa!!! Ketemu!!!” teriaknya membuat kebisingan.

Yahya langsung berlari lewat tangga darurat menuju Lantai dua. Dia langsung menekan saklar lampu di sepanjang koridor setelah berteriak keras untuk mengusir keheningan yang menegangkan. Kira-kira di depan pintu Laboratorium  Jaringan, ada sesosok manusia tergeletak tak berdaya. Awalnya Yahya sempat kaget. Namun jiwa patriotnya lebih unggul. Yahya langsung berlari menghampiri tubuh tak berdaya tersebut. Rasa kagetnya semakin menjadi-jadi karena ternyata bukan hanya satu, ada dua tubuh tergeletak tak berdaya.

“Woi!” serunya sekeras mungkin. Misal itu manusia pingsan, siapa tahu dia langsung kaget dan sadar. Misal itu bukan manusia, siapa tahu kaget dan menghilang gara-gara suara lantang Yahya. “Kamu ga apa-apa?”

Tampak seorang wanita dalam kondisi pingsan sedang dirangkul seorang laki-laki pucat. Laki-laki ini berusaha membawa si wanita, namun dia sendiri tidak punya tenaga. Tangan kirinya yang bebas digunakannya untuk menggedor-gedor pintu Laboratorium Kultur Jaringan dengan sisa tenaga yang ia miliki. Keduanya sama-sama tergeletak tak berdaya.

“Oi!, kamu ga apa-apa?” tanya Yahya mencoba membangunkan si laki-laki. “Oi, kalian kenapa? Oi, jawab!”

Laki-laki itu membuka matanya sedikit. Wajahnya benar-benar pucat, seperti daging beku yang baru keluar dari freezer. Dia langsung membelalakkan mata dan menarik lengan baju Yahya, “Tolong...tolong dia.”

“Iya..iya,” jawab Yahya dengan nafas memburu.  “Aku tolong dia. Tapi kamu juga perlu ditolong. Katakan, ada apa sebenarnya?”

Yahya sedang berjuang mendengarkan keterangan laki-laki tak berdaya itu, tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Spontan dia berteriak keras-keras. “Whaaaa!!!!”

“Whaaa!!!!” balas si penepuk bahu. Dia sendiri kaget dengan reaksi Yahya. “Kenapa kamu teriak?!”

“Kamu ngagetin!!!” bentak Yahya.

“ Aku yang kaget tau!!”

Akhirnya kedua orang sehat itu dapat menguasai keadaan. Mereka mulai menyadari identitas satu sama lain. Ternyata orang itu tak lain adalah Pras, yang langsung penasaran setelah mendengar teriakan Yahya ketika menyalakan saklar lampu koridor lantai dua. Dia langsung meninggalkan laboratoriumnya di lantai tiga. “ Mereka kenapa?”

Yahya menggeleng lemas, “ Aku baru mau dengar dia bicara, kamu tiba-tiba ngagetin.”  Pras menelan ludah karena merasa bersalah.

Mereka lantas bahu membahu membantu dua orang tak berdaya itu. Yahya menyandarkan kepala si laki-laki ke dinding lalu berusaha mendengarkan setiap kata yang terucam lemah dari bibirnya. Pras menyandarkan kepala si wanita ke pangkuannya. Dia memeriksa denyut nadi wanita itu.

Mendadak, dari dalam Laboratorium Jaringan, ada suara kunci pintu yang berusaha dibuka. Pras dan Yahya langsung membeku. Mereka saling pandang dengan waspada. Keduanya langsung menatap pintu Laboratorium Kultur Jaringan yang tampak bergerak. BRAK!!

Jantung Pras dan Yahya sempat berhenti sedetik. Yulia tiba-tiba ambruk setelah berhasil membuka pintu dengan susah payah. “Hwaaaa......hiks hiks hiks... Kalian lama banget....hiks...hiks...”

“Yul...kamu kenapa?” tanya Pras panik.

“Hiks...hiks...aku takut, Pras....hiks...hiks...” Yulia melampiaskan rasa takutnya dengan menangis sejadi-jadinya. “Begitu kamu selesai telepon, ada yang gedor- gedor pintu Lab...hisk...hiks....Pas ku buka ga ada siapa-siapa. Huhuhuhu....ga lama ada yang gedor-gedor lagi.”

“Kamu yang telpon ke lab ku?” tanya Yahya hati-hati. Yulia mengangguk lemas sembari berlinangan air mata. “Maaf, aku ga dengar ada telpon, aku di samping inkubator shaker.”

“ Trus kita harus gimana sekarang? Mereka harus dibawa ke rumah sakit,” kata Pras.

Yulia baru menyadari, ada dua orang lain yang sedang pingsan. “Mereka siapa?”

“Ga tahu. Begitu ketemu, mereka sudah pingsan,” kata Yahya menjelaskan. “Laki-laki ini yang menggedor-gedor pintu mu.”

“Ha?” Yulia terkejut. “Ga mungkin. Tadi aku dah nengok koridor, ga ada siapa-siapa.”

“ Mungkin yang pertama tadi memang bukan manusia, Yul. Tapi yang kedua kayaknya memang dia,” jawab Prass enteng. Yulia semakin keras  menagis.

“Sudah, sudah. Sekarang kita perlu bantuan. Kita harus panggil petugas keamanan untuk bantu kita mengankat dua orang pingsan ini dan mengantar mereka ke rumah sakit,” himbau Yahya.

Kemudian, Pras menghubungi pos petugas kemanan dengan telepon paralel. Yulia memberikan pertolongan pertama dengan mengoleskan minyak angin yang kebetulan selalu ada di saku jas lab-nya. Tak lama kemudian dua petugas kemanan datang. Mereka kemudian mengangkat dua orang pingsan tersebut dan mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat. Yulia pun mendapatkan perawatan karena sempat mengalami ketakutan hingga histeris. Pras dan Yahya kemudian kembali ke kampus, mebereskan pekerjaan masing-masing, kemudian bergegas kembali ke rumah sakit.


***


Setelah mendapat perawatan medis, dua korban pingsan itu pun siuman. Mereka tidak diperbolehkan menerima kunjungan hingga kondisi kejiwaan mereka stabil. Begitu mendapat kabar bahwa si laki-laki sudah boleh dijenguk, Pras, Yahya, dan Yulia langsung mendatanginya.

“Jadi, pas aku mau minta tolong pada Anti, dia malah teriak kemudian pingsan. Aku sendiri kaget, karena dia benar-benar pingsan. Aku tak tahu harus bagaimana, jadi aku berusaha membangunkannya. Begitu dia siuman, dia tampak kaget sekali lalu pingsan lagi. Aku mencari bantuan. Semua lab tutup, termasuk lab mu saat itu, Ya,” si korban laki-laki menceritakan kronologi kejadian kemarin sore. “Kayaknya kamu pas ke rumah kaca. Terus aku ke lantai dua, siapa tahu ada orang yang lembur. Aku dengar ada suara dari Lab jaringan. Aku memastikan orang, tapi begitu aku sudah di depan pintu Lab, suaranya hilang. Jadi aku mencoba masuk untuk minta tolong. Ternyata pintunya dikunci. Karena lama tak dibukakan, aku kembali menghampiri Anti, siapa tahu dia sudah sadar. Tapi ternyata belum. Aku berusaha menggendong Anti sampai di Lab Jaringan. Apa daya tenaga ku habis. Aku mulai tak kuat berdiri. Aku menyandarkan Anti di bahuku, dan tetap berjuang mengetuk pintu Lab Jaringan, berharap kami segera ditolong. Rasanya lama sekali. Seperti sudah berjam-jam. Aku senang sekali saat melihat wajah Yahya.”

Yahya, Pras, dan Yulia mentap senior mereka tanpa komentar. Tatapan mereka seakan bisa membunuh seekor gajah.

“Kok wajah mu bisa sepucat itu?” tanya Pras penasaran. “Pantas Anti ketakutan setengah mati. Aku dan Yahya saja tak mengenali mu.”

“Oh....itu karena aku terlalu lama di ruang steril, kan suhunya dingin banget. Tanpa sadar aku sudah dua hari tak keluar dari sana mengejakan kultur. Tahu-tahu sudah sore dan lapar sekali. Pas mau minta makan ke Anti, dia malah pingsan,” terang si senior santai.

Yahya, Pras, dan Yulia langsung meletakkan segala macam makanan yang mereka bawa. Kemudian mereka meninggalkan ruangan pasien tanpa bicara. Mereka, sama dengan kalian para pembaca, merasa kesal dan konyol sudah ketakutan gara-gara orang kelaparan. (End)





Pandawa vs Kalina ep.6


Pandawa Fans Club merasa berang. Tentu saja mereka berang. Idola mereka, Raka dan Yudis, mendapat teguran dari Kepala Sekolah gara-gara cewek sok keren, sok pinter, sok paling hebat di sekolah, Kalina. Memangnya salah siapa tu cewek jalan-jalan di sekitar lapangan? Memangnya Raka dan Yudis tahu kalo bakal ada kandidat siswa teladan yang bakal keluyuran di sekitar lapangan? Enggak kan?!

Raka dan Yudis ga bersalah samasekali. Mereka main bola sebagaimana mestinya. Toh kadang-kadang memang ada bola yang melesat keluar lapangan dan membentur dinding kelas, tapi karena jam pelajaran, jadi ga ada yang keluyuran di sekitar lapangan dan ga ada yang pernah kena bola nyasar, kecuali si cewek sok keren itu. Lagipula Raka dan Yudis langsung menolong cewek itu dengan sigap. Kalo bukan karena Raka, mana bisa cewe itu udah bisa jalan-jalan pas jam istirahat. Lagipula lukanya ga seberapa, cuma lecet dikit. Begitu saja dibesar-besarkan.

Maka, muncullah kesepakatan dalam tubuh Pandawa Fans Club, bahwa mulai hari ini, mulai detik ini, mereka akan membuat pembalasan pada siKalina. Berhubung mereka semua cinta damai dan ga pengen dibenci oleh Pandawa, mereka akan mengalahkan siKalina dengan cara positif, yaitu membuat Kalina tidak lagi rangking satu!

Yosh! Semangat PFC!
*****

Jika di SMA Pancasila Sakti terbentuk PFC, maka Kalina Lovers sudah berdiri bahkan sebelum PFC ada. Kalina Lovers tak pernah menunjukkan keberadaan mereka terang-terangan. Kalina Lovers ibarat ninja yang melindungi tanpa menunjukkan keberadaan dirinya. KL (baca Key eL) sudah berhasil menggagalkan 2 kasus serius, 37 tipu muslihat, dan 284 upaya pencemaran nama baik  yang ditujukan pada Kalina. Bukan hanya itu, KL merupakan sponsor utama pembuatan spanduk dukungan dan ucapan selamat  yang kadang muncul begitu saja di gerbang sekolah tanpa diketahui siapa yang membuatnya. Toh, SMA Pancasila sakti mengakui prestasi Kalina, jadi spanduk-spanduk itu tidak diturunkan.

Lalu bagaimana reaksi PFC jika bertemu KL? Tak ada reaksi. Karena PFC tak pernah tau siapa saja anggota KL. Kabarnya, rekruitmen KL amat ketat dan rahasia. Tidak sembarang siswa yang berkoar-koar ngefans Kalina bisa langsung menjadi anggota KL. Ada semacam tes kelayakan. Bukan dengan menjawab pertanyaan seputar Kalina, misal “Kapan Kalina ultah? Apa warna favorit Kalina?”. No! Itu pertanyaan ga penting banget. Anggota KL haruslah orang-orang yang otaknya bisa disetarakan dengan Kalina, gosipnya sih begitu. Minimal, calon anggota KL harus memiliki prestasi setingkat kabupaten. Berhubung desas-desus rekruitmen KL sedemikian sulitnya, banyak siswa-siswa yang menyerah sebelum berniat mendaftar sebagai anggota KL. Itulah mengapa, jumlah anggota KL tidak berubah, dari awal terbentuk, hingga sekarang.

Kadang, Hera dan Yeshi menuduh, bahwa Kalina tahu siapa saja anggota KL. Namun Kalina selalu membantah. Dia sendiri merasa terkadang KL itu merepotkan dan memalukan. Karena Hera dan Yeshi cukup memahami karakter Kalina, mereka percaya saja, bahwa Kalina tidak tahu siapa jati diri KL. Mungkin itu gerakan perseorangan. Mungkin juga pencetus KL sebenarnya salah satu dari guru. Mungkin juga KL itu Papa atau Mama Kalina yang ingin menyombongkan anaknya. Bisa jadi Kalina sendiri lah yang mendirikan KL. Yang jelas KL itu punya dana yang besar, sebab mereka sanggup menyewa marchingband paling terkenal di kabupaten untuk menyambut kemenangan Kalina setahun lalu. Saat wartawan sekolah mencoba mengorek keterangan dari anggota marching, mereka hanya mendapat info bahwa dana sebesar lima belas juta telah diterima pihak manajemen marching dari KL. Hingga berita ini diterbitkan, misteri mengenai KL belum terpecahkan.
*****

Implikasi keberadaan dua kelompok kuat di SMA Pancasila Sakti pun melahirkan kelompok baru. Mereka menamakan diri Tim Investigasi Penggemar Ekstra Kulikuler (TIPEK). Tujuan terbentuknya TIPEK adalah menyelidiki identitas anggota KL. Mereka selalu melaporkan perkembangan penyelidikan pada wartawan sekolah. Mereka berbeda dengan jurnalisme barbar yang menjual kehidupan pribadi orang tenar. Mereka menyelidiki karena mereka mencintai misteri. Bukan misteri mistis seperti yang beredar di televisi, namun misteri investigatif yang membutuhkan intuisi kuat dan otak cemerlang. Sejak terbentuk, TIPEK sudah mencurigai tujuh orang sebagai anggota KL. Sayangnya hipotesa mereka selalu terpatahkan dalam waktu satu minggu. Semua bukti yang mengarah pada tersangka mendadak sirna dan menyisakan tanda tanya besar sehingga membuat ketua Tim mengalami kebotakan dini.

Terkadang TIPEK mengusut tindak tanduk PFC. Beberapa kali TIPEk turut berperan dalam membongkar rencana PFC menjatuhkan Kalina. Malahan ketua Tim dicurigai sebagai anggota KL itu sendiri. Terjadi kekacauan di kalangan siswa SMA Pancasila Sakti. Majalah Dinding sekolah menjadi ajang unjuk rasa para anggota PFC terhadap kinerja TIPEK yang dianggap mengganggu hak personal dalam menyikapi dan mengapresiasikan rasa kagum pada idolanya. Sementara TIPEK berkoalisi dengan Majalah Sekolah melancarkan serangan balik mengenai sikap tidak etis anggoa PFC terhadap keberhasilan dan prestasi orang lain (Kalina maksudnya). Perang media terus terjadi selama dua bulan berturut- turut. Hingga pada akhirnya guru-guru menyadari penurunan nilai ulangan siswanya terjadi secara berjamaah pada semua mata pelajaran. Maka, mading sekolah dan majalah sekolah dibredel hingga pelaksanaan ujian tengah semester berakhir. Meski secara kasat mata perseteruan itu mereda, namun kegiatan saling serang terus terjadi secara bawah tanah dan kebotakan yang dialami ketua Tim TIPEK semakin parah. Kemudian dia mengambil resiko dan mengaku sebagai salah satu anggota KL. Hal ini dilakukan untuk meredam penggundulan kepalanya sendiri yang mengganas seperti kebakaran hutan –lebih tepatnya menuruti nasehat dokter untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dari akar maslah itu sendiri.

Daripada kalimat-kalimat berat ini terus berlanjut dan cerbung ini mulai tercerabut dari kategori cerita remaja, maka KL mengirim pesan singkat dan e-mail pada seluruh siswa SMA Pancasila Sakti, “KL tidak punya anggota yang populasi rambutnya menurun mendekati kepunahan semacam ketua Tim TIPEK”.

Selesai.  (^o^)v


[Bersambung ya.....]

Selasa, 05 Februari 2013

Gue Curhat Ya! ep.3


Retta cwe super : (status) Asal lo inget aja ya, dunia tu berputar! Hari ni lo bisa seneng2 di atas penderitaan gue! Liat aja besok! Pas lo menderita, giliran gue yang bakal seneng-seneng! An**it lo!!!
Min Min Paimin : (komen) haduh...haduh....ampun, Ret. Ak g th klo penderitaan mu br dijemur, kirain tadi tiker, ku pake main ular tangga deh :D
Retta cwe super: Diem lo Min! Jangan nambah emosi dong.
Min Min Paimin: heee...maap, Ret. Emang kenapa siy? Km menderita di sebelah mana, sinih sinih ku tiupin biar ga sakit
Retta cwe super: kesel gue!
Min Min Paimin: iya, kesel kenapa, Ret?
Retta cwe super: gue tu lagi kesel, Min! Jangan nambah kesel dong!
Min Min Paimin: ow...kesel? istirahat dong....sini ku pijit-pijit biar ga kesel
Retta cwe super: Arrrrrghhhhhhhhhhhhh...ga nyambung lo!
Min Min Paimin: Aih....syukur deh gitu dipijit anginnya keluar. Ternyata km tu masuk angin to?
Retta cwe super: Paimin gilaaaaaaaaaaaaaaaaa......!!!!
Min Min Paimin: Retta cantiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiik......................(^o^)/
Retta cwe super: masa? Gombal km Min!
Min Min Paimin: serius, Ret.....aku diem2 download pp km, trus ku print, ku seimpen di dompet
Retta cwe super : Sumpeh lo?! Ih....kok gue jd ngeri ya :D
Min Min Paimin: km ngeri kan dengan besarnya cinta ku pada mu *kedip-kedip genit
Retta cwe super: idih..................najis lo Min (>,<)



“Yg gue donlot PP lo pas nempelin foto YoonA, Ret. Hehehehehe,” jawab Paimin dalam hati.








-------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Sabtu, 02 Februari 2013

Juragan & asistennya ep.1


Ratih terlalu baik hati. Dia sudah bekerja sebagai sales barang-barang elektronik di salah satu perusahaan kredit nasional. Sudah berjalan kesana-kemari menawarkan produknya hingga memenuhi target penjualan. Namun gajinya dipinjam teman-temannya dan tak dikembalikan juga. Karirnya dijatuhkan karena ada sales lain yang merasa tersaingi oleh dirinya. Hingga akhirnya dia memilih berhenti dan kembali ke rumah orang tuanya.

Ratih tidak bodoh. Mengingat prestasinya di sekolah dasar dulu dengan rangking tiga besar setiap pembagian rapot. Dia sempat kuliah dan nilainya pun bagus. Dia sempat bekerja di perusahaan nasional, namun buru-buru keluar karena gajinya tak lebih tinggi dari babysister di mansion borjuis. Bukan hanya sekali, dia bekerja di perusahaan. Terakhir dia sempat menjadi karyawan perusahaan helm Korea, itu pun tak bertahan lama berkat campur tangan teman kerjanya yang terlalu perhatian pada urusan orang lain. Bahkan ketika wawancara di perusahaan obat dia langsung disodori kontrak kerja, namun Ratih terlanjur melihat nominal gajinya dan dia langsung pamit pulang.

Ratih hanya malang. Dia sering disingkirkan rekan kerjanya karena terlalu berprestasi. Sering orang berhutang padanya karena gajinya selalu ditabung dan jarang belanja. Bahkan ketika dia akhirnya memiliki idola, seorang penyanyi muda tampan, tiket konser yang diperolehnya dengan susah payah lumat di dalam saku bajunya, berkat seorang teman yang bermaksud mencucikan baju Ratih sebagai bentuk rayuan agar mendapat kelonggaran pelunasan hutang.

Ratih hanya bingung. Bingung bagaimana harus menjadi manusia. Bingung bagaimana agar dia jauh dari  kemalangan. Bingung bagaimana agar orang tak lagi berhutang padanya.
Pada akhirnya Ratih menyadari, mungkin kepribadiannya adalah kepribadian kaum teraniaya. Mungkin di wajahnya ada tulisan “tindaslah saya” sehingga beberapa teman kerjanya selalu memfitnah dia hingga dia berhenti bekerja. Bisa jadi di dahinya ada tulisan “aku gampang ditipu” sehingga banyak orang berhutang  dan tak mengembalikan uangnya.

Ratih berfikir, apakah pekerjaan yang sesuai dengan karakternya? Karakter orang yang gampang teraniaya paling cocok bekerja sebagai kaum teraniaya. Pengemis? Ah, itu orang tak berdaya. Rasanya pembantu adalah jawaban yang paling tepat. Ratih pun memutuskan menjadi pembatu rumahtangga saja.

“Kamu yakin, Tih?” tanya Buliknya di telepon. Ratih menghubungi Buliknya yang sudah bekerja sebagai PRT selama dua puluh tujuh tahun. “Kamu kan sekolah sampai tinggi. Masa jadi pembantu?”

“Yakin, Bulik. Ratih sudah mantep.”

“Lha pekerjaan mu yang dulu gimana? Coba kamu melamar kerja di perusahaan lagi. Kamu kan bisa jadi pegawai kantoran, Tih.”

“Ratih sudah capek, Bulik. Ratih kerja di kantoran tapi hidup Ratih ga lebih dari orang kekurangan, Bulik. Ratih pikir, mungkin memang ga cocok kerja kantoran.”

“Lha gimana to, Nduk, kok nasib mu sengsara begitu?” dari ujung sambungan telepon sana, si Bulik menitikkan air mata, mengetahui kemalangan keponakannya itu. “Yo wis, Nduk, Bulik carikan kerja di sekitar sini. Sapa tau temen majikannya Bulik ada yang perlu pembantu. Tak kabari lagi besok yo, Nduk.”

“Nggih, matur nuwun, Bulik. Ratih tunggu kabar selanjutnya.”
###

Maka,  Ratih menunggu kabar dari Buliknya. Majika buliknya adalah seorang duta besar Indonesia di Inggris, dulu. Sekarang, majikannya sudah kembali ke Indonesia, namun siBulik masih sering ke luar negeri karena nebeng majikannya jalan-jalan atau menengok anak dan cucu majikannya di luar negeri. Menimbang luasnya koneksi majikan Buliknya, maka Ratih bertekad membekali dirinya dengan kemampuan bahasa asing yang baik. Bahasa Inggrisnya sudah lumayan, tapi bahasa lainnya, dia tak tahu. Itulah alasan mengapa Ratih belajar bahasa asing.

Tepat ketika ada berita di TV bahwa pesawat Perkutut Airline mendarat di area persawahan karena mendadak pilotnya ingin ikut bancak’an wiwit di sawah kakek buyutnya, Ratih mendapat kabar bahwa teman majikan Buliknya sedang mencari asisten rumah tangga.

Teman majikan Buliknya itu tidak mau mencari pembantu, karena pembantu itu cenderung cuma bisa bantu. Teman majikan Buliknya perlu asisten yang bisa  mengawasi, dan menjaga anaknya yang sedang berlibur sekaligus rehabilitasi. Ketika Buliknya cerita bahwa Ratih sedang perlu pekerjaan, si Teman majikannya Bulik ini langsung tertarik. Diam-diam sebenarnya yang diincar itu si Bulik, namun majikan Bulik pasti ga akan melepas pembantunya yang setia. Karena Ratih ini adalah keponakan seorang pembantu setia, terlebih pernah mengenyam pendidikan tinggi, maka kredibilitas Ratih dirasa memenuhi kriteria yang ditetapkan. Mereka sepakat untuk mempertemukan Ratih dengan calon majikannya.

Maka, tepat ketika jam digital menampilkan angka 3:33 Ratih bertemu dengan calon majikannya. Calon majikannya ini bertubuh kurus, okelah sebut saja langsing, dengan dagu terangkat sedikit, pakaian menyerupai kelelawar, dan sepatu yang hampir serupa dengan setlikaan. Namanya Miss Tery.

Miss Tery mengangkat dagunya sejenak kemudian mengajukan pertanyaan pada Ratih, “Bisa ngetik?”

Ratih yang heran langsung menatap calon majikannya dengan heran.

“Ehmm....,” Miss Tery berdehem, kemudian mengangkat dagunya sejenak, “Bisa ngetik?” ulangnya lagi. Kali ini dilengkapi dengan tekanan pada pertanyaannya dan tatapan tajam ke arah Ratih. Dia tersinggung karena harus mengulang pertanyaan dua kali.

“Bisa, Miss,” jawab Ratih mantab.

Miss Tery mengangguk puas. Lagi-lagi dia mengangkat dagu sejenak. “Bisa bahasa Inggris?”

“ Bisa,.......sedikit, Miss,” Ratih nyengir.

" Misal keponakan saya ngomong Inggrisnya, kamu bisa ngerti? Pokoknya tugas kamu menjaga dia, ga boleh keluyuran, walau pakai bahasa Inggris, kamu bisa ngerti sedikit-sedikit kan kalo dia mau pergi?"

"Iya, Miss. Kalau dia ngomong 'Go atau out' saya akan melarangnya."

 "Bahkan kalo dia ngomong dengan bahasa Korea. Apalagi dia ngomong dengan bahasa Korea, kamu harus langsung kunci pintu. Ngerti?"

"Ngerti, Miss."

Miss Tery mengangguk puas. Kemudian mengangkat dagu sejenak. "OK. Sepertinya kamu cukup bisa diandalkan."

Maka disepakatilah kontrak kerja antara Ratih dan Miss Tery. Ternyata Miss Tery bukanlah calon majikan Ratih. Dia adalah adik dari calon majikan Ratih. Miss Tery hanya diutus, karena kebetulan calon majikan Ratih sedang sibuk mempersiapkan kepindahan anaknya dari Korea ke Indonesia.

“Besok ikut saya ke kantor imigrasi ya. Kita buat paspor dan visa untuk kamu,” kata Miss Tery setelah menyelesaikan penandatanganan surat kontrak kerja bermaterai dengan Ratih.

“Lha? Ini saya mau dijadikan TKI ya, Miss?”

“Bisa dibilang begitu. Tapi ga juga,” jawab Miss Tery santai. “Kamu tidak perlu khawatir, nanti kamu tinggal di rumah keluarga Indonesia, jadi tidak perlu menguasai bahasa sana secara khusus.”

“I-iya, Miss,” jawab Ratih agak gugup. Ratih berdoa, semoga dia ga harus terjun dari gedung lantai 19 seperti nasib TKI di Malaysia.


:: Korea::

Akhirnya setelah paspor dan visa Ratih jadi, dia terbang ke Korea. Berkat bantuan Miss Tery, dia jadi punya paspor. Namun meski dia akhirnya merasakan naik pesawat dan ke luar negeri, tetap saja terselip kekhawatiran di benak Ratih. Sebelum dia berangkat, dia sudah meninggalkan surat wasiat yang ditinggalkan dalam lemari pakaian di rumah. Ratih ingat berita- berita mengenai nasib TKI yang kehilangan nyawanya. Ga pengen sih jadi kayak gitu. Misalakan ternyata nasib Ratih kurang beruntung, setidaknya dia sudah meninggalkan permintaan maaf kepada orang tua-nya.

Selama beberapa hari ini Miss Tery ,menceritakan banyak hal mengenai kakak perempuannya dan keponakannya. Kakaknya bernama Shinta, suami kakaknya bernama Haryo, dan keponakannya bernama Ihyun. Keponakan Miss Tery akan dipindahkan ke Indonesia sementara waktu. Karena orangtuanya tak bisa ikut pindah, dan Miss Tery sendiri sibuk, jadi mereka memerlukan seorang asisten untuk membantu dan memantau keadaan Ihyun.

Ratih mencoba mengingat-ingat semua rincian mengenai keperluan Ihyun. Dia juga mengingat hal-hal yang dilarang selama menjaga Ihyun. Bayangan Ratih, Ihyun itu anak SMP yang harus dijaga karena memiliki masalah kepribadian. Mungkin dia depresi karena nilai sekolahnya merosot. Ratih pun bertekad akan menjaga Ihyun seperti adiknya sendiri.  

Setelah berada delapan jam di pesawat, akhirnya Ratih tiba juga di Korea. Pesawaatnya mendarat di bandara Incheon sekitar pukul 8.30. Ratih takjub melihat kemegahan bandara internasional ini. Ratih juga takjub melihat orang-orang dengan mata sipit dimana-mana. Ratih seperti berada di negeri lain.
Sedang ndeso-ndesonya, mendadak suara melengking Miss Tery membuyarkan rasa takjub Ratih. “Kamu jangan jauh-jauh dari saya, ya! Nanti hilang!” perintah Miss Tery.

Ratih patuh saja. Miss Tery benar, kalau sampai Ratih hilang, nanti dia sungguhan jadi TKI bernasib naas. Lagipula Ratih tidak bisa bahasa Korea. Maka Ratih terus membuntuti Miss Tery hingga mereka mendapatkan taxi.

Ratih takjub melihat rumah majikannya. Halamannya cukup luas, penuh tanaman hias. Sembari menenteng tasnya, Ratih mengagumi rumah bergaya modern itu dengan tampang bloon. Miss Tery memanggilnya agar bergegas masuk.

Miss Tery langsung disambut kakak perempuannya, Ny. Haryo. “ Eonni, ini Ratih, yang akan jadi asisten barunya Ihyun,” jelas Miss Tery sambil mengangkat dagunya sedikit. Ratih langsung jadi pusat perhatian.

“ Oh...ayu ya. Kok kayaknya ga pantes jadi pembantu,”komentar Ny.Haryo antusias.

Miss Tery langsung memandang Ratih, lalu mengangkat dagunya sedikit, “Dia kan ku bawa untuk jadi asisten, bukan pembantu. Tentu saja aku pilih yang pantas, Eonni.”

Namun Ny. Haryo tidak terlalu menggubris adiknya. Dia menghampiri Ratih lantas menuntunnya ke ruangan lain, “Mari nduk, tak anter ke kamar mu.”

Ratih bingung, kok pake bahasa jawa? Mengingat penjelasan Miss Tery, dia akhirnya mengerti, majikannya ini memang orang Jawa asli yang tinggal di Korea. “Nggih, Bu,” jawab Ratih sopan.

“ Seneng aku, akhirnya ada yang bisa ku ajak ngobrol. Tery itu ga mau menetap di sini, katanya ga cocok sama makanannya. Padahal kan aku selalu masak makanan Indonesia, meskipun bumbunya kadang ga lengkap. Eh, umur mu berapa nduk?”

“28 tahun, Bu.”

“ Pas kalau jadi kakaknya Ihyun. Kalian pasti bisa cepet akrab,” jelas Ny.Haryo. Ratih cengar-cengir. “Oh ya, Nduk. Kamu bisa mandiin anak laki-laki to?”

“ He?!"

Ratih bengong.[bersambung....]


Baca episode 2 Juragan dan Asistennya

________________________________________________________________________________

Cerpen remaja,  cerpen remaja,  cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.

Cerita Populer