Kampus tampak lengan pada jam 6 sore. Lorong-lorong diantara ruang
kelas senyap tanpa kegiatan mahasiswa. Begitu pula lorong-lorong laboratorium.
Nyala lampu darurat di ujung tangga justru menambah suasana seram lorong-lorong
ini. Anti memberanikan diri untuk berjalan di salah satu lorong di lantai dua
gedung laboratorium. Dia harus mengembalikan timbangan analitik yang
dipinjamnya untuk menimbang tanaman cabai hasil penelitiannya. Nyalinya ciut,
apalagi setelah mengetahui cerita-cerita seram tentang penghuni lain di
laboratorium bila malam tiba. Dia tak ingin menjadi saksi hidup atas kejadian
menyeramkan seperti itu. Akantetapi membawa pulang timbangan bisa dianggap
kejahatan serius di kampus. Meski dia takut, Anti berjuang memberanikan
dirinya.
Anti menarik nafas dalam-dalam. Dia mulai menapakkan kaki kanannya.
Aman. Tidak terjadi apa-apa. Kepercayaan Anti langsung bertambah. Dia semakin
yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja. Meski masih tersisa sedikit keraguan,
Anti melangkah menuju laboratorium produksi tanaman.
Anti mulai merasakan ada yang aneh di lorong itu. Dia memang tidak
terjatuh dalam lubang yang mendadak muncul atau melihat penampakan hantu.
Tidak. Dia tidak mendapati semua itu. Yang dirasakan Anti adalah gema langkah kakinya
sendiri di lorong. Anti meyakinkan dirinya, bahwa gema itu terjadi karena
lorong itu senyap. Anti yakin, gema semcam ini juga terjadi bila banyak
mahasiswa berjalan di sana, hanya saja mereka tidak memperhatikannya karena
suara obrolan jauh mendominasi. Lalu Annti mulai yakin. Dia yakin bahwa sura
gema itu berasal dari dua langkah kaki yang berbeda. Jika yang pertama adalah
milik Anti, lalu yang kedua milik siapa?
Anti memperlambat jalannya. Dia memindahkan beban titik tumpu
kakinya agar suara langkahnya melemah. Anehnya, sura langkah ke dua itu pun
melambat dan melemah. Anti menatap lurus ke depan, dia melihat pintu
laboratorium produksi masih sekitar empat meter. Dengan sekuat tenaga, Anti
mempercepat langkahnya, semakin cepat, hampir berlari.seramnya suara langkah
kaki ke dua itu pun semakin cepat, seiring dengan langkah kaki Anti. Begitu
sampai tepat di depan pintu laboratorium produksi, anti langsung meraih kunci
yang ada di sakunya, berjuang secepat mungkin membuka pintu, dan tidak melihat.
Sayangnya rasa gugup Anti justru membuat dia tidak bisa memasukkan kunci ke
lubangnya dengan benar. Anti semakin panik.
Lalu, sesuatu menyentuh bahunya. Sekujur tubuh Anti langsung terasa
dingin. Dengan gemetar, dia masih berjuang membuka pintu laboratorium produksi.
Tangannya bergetar makin hebat dan tubuhnya semakin dingin. Dalam hitungan
detik, Anti menyadari ada sesuatu tercermin di kaca pintu laboratorium
produksi. Sesuatu yang pastinya ada tepat di belakang Anti. Berharap bayangan
itu tak nyata, Anti menoleh memastikan apa yang ada di belakangnya.
“Kyaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!” suara Anti menggema di lorong gedung
lantai dua.
***
Pras sedang
memanaskan air dengan teko kecil yang diam-diam ia simpan di loker. Profesornya
pasti akan menegur bila mengetahui kegiatan sampingan Pras di laboratorium.
Pras sering membuat kopi dan mie instan di sela-sela kesibukannya melakukan
penelitian. Sejauh ini belum ada yang tahu teko ajaib simpanan Pras. Beberapa
mahasiswa lain yang terpaksa tinggal di laboratorium hingga larut lebih sering
membeli kopi atau makanan dari kantin kampus yang memang disediakan hingga jam
sembilan malam. Karena Pras malas bila harus turun ke lantai satu, dia
menyelundupkann teko kecil untuk memasak air.
Pras sudah
merasa mengantuk padahal masih jam enam. Jika diingat sih dia baru tidur tiga
jam selama dua hari terakhir. Maka Pras berinisiatif membuat secangkir kopi
untuk mengusir kantuknya. Tepat ketika air di tekonya mendidih, Pras mendengar
suara wanita menjerit dari lorong-lorong gedung. Pras langsung menahan nafas.
Dia berharap suara lengkingan itu muncul lagi agar dia dapat mengtahui dengan
pasti posisi suara itu berasal. Sayangnya harapan Pras tidak terkabul. Gedung
kembali senyap. Hanya suara air mendidih yang dapat didengarnya.
***
Telepon yang
tiba-tiba berdering mengejutkan Yulia yang sedang konsentrasi mengecat jaringan
batang jagung. Kekagetannya membuat pipet yang dipegangnya jatuh dan cairannya
mengotori kertas catatan Yulia. Merasa kesal bercampur kaget, Yulia segera
membersihkannya dengan tisu. Sembari bergumam jengkel, dia mengangkat telepon
laboratorium. “Halo!”
“Heh, Yul! Kamu
denger ga barusan ada suara cewek teriak?!”
“Ck! Kamu to
Pras. Ngagetin aja. Laktofenol ku jadi tumpah gara-gara telpon mu!”
“ Heeeeh, itu
ga penting tau. Kamu denger ga sih ada suara cewek teriak?”
Yulia memutar
bola matanya, mencoba mengingat-ingat, namun tidak ada suara teriakan cewek
yang dia dengar, “ga tuh.”
“Masa sih? Dari
sini aja kedengeran. Kuping mu pasti kotor banget.”
“Sialan kamu!
Udah ah, ga penting. Aku mau lanjut kerja nih.”
Yulia langsung
menutup telepon paralel antar laboratorium tersebut. Dia kembali menekuni
pekerjaannya mengecat jaringan batang jagung. Ketika Yulia berhasil meneteskan
cairan laktofenol dengan benar pada preparatnya, dia mendengar ada suara
pegangan pintu ditarik dengan paksa. Yulia langsung waspada. Dia meletakkan
alat-alat yang dipegangnya, kemudia mengalihkan perhatian pada pintu
laboratorium. Ada yang mencoba membuka pintu itu dari luar. Yulia sengaja
menguncinya tadi. Dia sering tidak sadar bila sudah berkonsentrasi pada
penelitiannya. Dia khawatir ada orang yang diam-diam masuk ke laboratorium dan
tidak disadarinya sama sekali. Itulah gunanya mengunci pintu, Yulia akan tahu
bila ada orang yang berusaha masuk.
Orang itu makin
kasar menarik-narik pegangan pintu. Dia membuat kaca pintu bergetar. Penasaran
sekaligus kesal, Yulia memutuskan untuk melihat siapa yang mencoba masuk
tersebut. Dia pasti akan memarahinya habis-habisan.
Yulia
menyibakkan tirai yang menutupi kaca pintu laboratorium. Namun dia tidak
melihat siapa-siapa. Lorong tampak remang-remang dengan penerangan lampu
darurat. Ingin memastikan bahwa memang ada orang yang tadi mencoba masuk, Yulia
membuka pintu perlahan-lahan. Blak! Tidak ada siapa-siapa. Yulia menjulurkan
kepalanya memeriksa koridor, tetap saja tak ada siapa-siapa. Yulia tiba-tiba
merinding. Buru-buru dia menutup pintu kemudian menguncinya lagi.
Yulia
memutuskan untuk kembali bekerja. Kembali dia tekun mewarnai jaringan batang jagung
di depan mikroskop. Lima menit berselang, lalu ada seseorang atau sesuatu yang
kembali mencoba membuka pintu laboratorium. Kali ini Yulia langsung bergegas
membuka tirai di pintu. Dia akan langsung memarahi orang itu. Sayangnya,
lagi-lagi tidak ada sapa-siapa di balik pintu tersebut. Langsung ditutupnya
tirai. Tanpa pikir panjang Yulia meraih telepon paralel.
***
Telepon
berdering. Kali ini tidak hanya sekali. Setelah deringan panjang yang pertama
selesai, dering panjang ke dua dimulai. Yahya tak begitu memperhatikan bunyi
telepon seluler yang terletak dekat pintu masuk. Dia ada kira-kira empat meter
dari telepon itu. Dia sedang mengankat sekeranjang penuh bungkusan tanah.
Pekerjaannya lebih mirip kuli sebenarnya, mengangkat beberapa karung tanah dari
rumah kaca, kemudian menimbangnya, lalu mengemasnya dalam plastik dengan berat
tiga kiloan. Sudah begitu laboratoriumnya tidak memiliki AC. Dia bahkan tak
mengenakan jas lab sama sekali. Memakai jas lab sambil bekerja seperti itu
ibarat neraka jahanam. Toh badan Yahya sudah jadi otot semua tanpa lemak.
Karena Yahya tak kunjung mengangkatnya, dering telepon itu berbunyi. Selang
setengah menit telepon itu berbunyi lagi. Yahya pun tetap tidak mengangkatnya.
Telinganya terlalu sibuk mendengarkan dengung blower dan bunyi inkubator
shaker.
Yahya
teralihkan dari bungkusan tanahnya ketika ada yang mengetuk pintu laboratorium.
Ternyata ada petugas keamanan kampus yang menegoknya. “Masih lama, Mas Bro?”
“Iya, Pak.
Masih buanyak kerjaanya.”
“Mas, Bro, itu
ada telpon. Dari tadi bunyi terus. Tak kira mas Bro lagi keluar, makanya saya
cek.”
Yahya bergegas
menghampiri Pak petugas kemanan. Pada akhirnya dia baru tahu ada telepon masuk.
“Wah, iya. Makasih Pak diingatkan.” Yahya mengucapkan terimakasih dengan tulus.
"Halo,” namun
yang didengar Yahya hanyalah suara nafas yag memburu. “Halo. Ini
siapa ya? Halo?” Yang didengar Yahya hanyalah suara nafas yang memburu,
sesekali rengekan.
Merasa heran,
sekaligus penasaran, dahi Yahya berkerut. Melihat reaksi Yahya, si petugas
keamanan mengurungkan diat untuk kembali ke bagian resepsionis. Instingnya
sebgaia petugas keamanan menangkap adanya ancaman bahaya. “Kenapa, mas Bro?”
“Ga tau, Pak.
Telponnya aneh. Denger deh,” Yahya menyerahkan gagang telepon pada Petugas
kemanan. “Cuma orang ngos-ngosan.”
“Iya, Mas,”
Petugas kemanan itu menyetujui Yahya. “ Ini siapa ya?” Namun yang di ujung lain
sambungan telepon malah menangis. Terdengar sedu-sedan yang ditahan dan nafas
yang memburu. “Mas, ini aneh.
Sepertinya dia ketakutan.”
“Tapi siapa ya
Pak? Kalo dia bilang dia siapa dan ada di mana, kan bisa kita jemput,” komentar
Yahya.
Rupanya
kata-kata Yahya tertangkap oleh si penelepon. Dengan terbata-bata dan tidak
jelas, si penelepon mulai menggumamkan sesuatu. “Hkks....hhhh...jar...hhh..
jari...huhuhuhu....hhhh...jari....”
“Mas, dia mulai
ngomong!” seru Petugas keamanan merasa mendapat petunjuk. Dai dan Yahya
mendekatkan telinga pada gagang telepon, maksudnya mendengarkan bersama.
“Jari...Hiks....hhhhh.....huhuhu...Jngan.....Jngan...hiks....hhhh...”
Keduanya
bingung. Mereka saling berpandangan dan berfikir. Jari? Jngan? Apa.........ada
jari tangan jalan-jalan sendiri di lab?! Keduanya lantas begidik.
“Halo. Halo.
Tolong bicara yang jelas. Halo. Maksudnya jari apa? Maksudnya Jngan apa?”
teriak Yahya panik.
“Hwaaa!!!!
Haaaaa!!!” mendadak si penelepon berteriak histeris. Jantung Yahya dan Petugas
kemanan itu seakan mau copot. Mereka reflek melempar gagang telepon ke meja.
Setelah histeris agak tenang, si penelepon kembali mengatakan sesuatu yang tak
jelas. “Huhuhuhu....jaring...hhhhhh....jaringn.... hiks...hiks....sini....”
Setelah cukup
tenang, Yahya langsung menyambar telepon itu dan bicara dengan tegas, “Kamu di
situ saja. Tutup teleponnya. Aku akan segera menjemput.”
“ Jangan
ditutup, Mas Bro. Ini satu-satunya jalan agar dia terhubung dengan dunia luar.
Kalau sampai ditutup, dia bisa tertelan ke dunia lain,” kata Petugas keamanan
agak histeris.
“He?! Gitu ya,
Pak?!” Yahya langsung menuruti saran Petugas keamanan. “Jangan tutup telponnya!
Jangan tutup! Apapun yang terjadi kamu jangan tutup telponnyaaaaaaaa!!!!!”
teriak Yahya lebih keras daripada suara bom.
***
Kemudian, Yahya
meninggalkan telepon kepada Petugas keamanan yang sebenarnya ketakutan. Yahya
langsung berlari menyusuri koridor lantai Satu dan menyalakan semua lampu di
lorong. Dia memeriksa satu demi satu kondisi di dalam laboratorium. Semua
gelap. Tak ada yang menyala. Ketika matanya menangkap tulisan ‘Laboratorium
Mikrobia’ otaknya langsung berputar. Laboratorium Mikrobia, Laboratorium
Ekologi, Laboratorium Zoologi, Laboratorium Penyakit, Laboratorium Genetika,
Laboratorium Kimia Organik, nama-nama laboratorium di lantai satu sudah disebut
semua. Mungkin si penelepon bermaksud mengatakan Laboratorium Jaringan.
“Whaaa!!! Ketemu!!!” teriaknya membuat kebisingan.
Yahya langsung berlari lewat tangga darurat menuju
Lantai dua. Dia langsung menekan saklar lampu di sepanjang koridor setelah berteriak
keras untuk mengusir keheningan yang menegangkan. Kira-kira di depan pintu
Laboratorium Jaringan, ada sesosok
manusia tergeletak tak berdaya. Awalnya Yahya sempat kaget. Namun jiwa
patriotnya lebih unggul. Yahya langsung berlari menghampiri tubuh tak berdaya
tersebut. Rasa kagetnya semakin menjadi-jadi karena ternyata bukan hanya satu,
ada dua tubuh tergeletak tak berdaya.
“Woi!” serunya
sekeras mungkin. Misal itu manusia pingsan, siapa tahu dia langsung kaget dan
sadar. Misal itu bukan manusia, siapa tahu kaget dan menghilang gara-gara suara
lantang Yahya. “Kamu ga apa-apa?”
Tampak seorang
wanita dalam kondisi pingsan sedang dirangkul seorang laki-laki pucat.
Laki-laki ini berusaha membawa si wanita, namun dia sendiri tidak punya tenaga.
Tangan kirinya yang bebas digunakannya untuk menggedor-gedor pintu Laboratorium
Kultur Jaringan dengan sisa tenaga yang ia miliki. Keduanya sama-sama
tergeletak tak berdaya.
“Oi!, kamu ga
apa-apa?” tanya Yahya mencoba membangunkan si laki-laki. “Oi, kalian kenapa? Oi,
jawab!”
Laki-laki itu
membuka matanya sedikit. Wajahnya benar-benar pucat, seperti daging beku yang
baru keluar dari freezer. Dia langsung membelalakkan mata dan menarik lengan
baju Yahya, “Tolong...tolong dia.”
“Iya..iya,”
jawab Yahya dengan nafas memburu. “Aku
tolong dia. Tapi kamu juga perlu ditolong. Katakan, ada apa sebenarnya?”
Yahya sedang
berjuang mendengarkan keterangan laki-laki tak berdaya itu, tiba-tiba ada yang
menepuk bahunya. Spontan dia berteriak keras-keras. “Whaaaa!!!!”
“Whaaa!!!!”
balas si penepuk bahu. Dia sendiri kaget dengan reaksi Yahya. “Kenapa kamu
teriak?!”
“Kamu
ngagetin!!!” bentak Yahya.
“ Aku yang
kaget tau!!”
Akhirnya kedua
orang sehat itu dapat menguasai keadaan. Mereka mulai menyadari identitas satu
sama lain. Ternyata orang itu tak lain adalah Pras, yang langsung penasaran
setelah mendengar teriakan Yahya ketika menyalakan saklar lampu koridor lantai
dua. Dia langsung meninggalkan laboratoriumnya di lantai tiga. “ Mereka
kenapa?”
Yahya
menggeleng lemas, “ Aku baru mau dengar dia bicara, kamu tiba-tiba ngagetin.” Pras menelan ludah karena merasa bersalah.
Mereka lantas
bahu membahu membantu dua orang tak berdaya itu. Yahya menyandarkan kepala si
laki-laki ke dinding lalu berusaha mendengarkan setiap kata yang terucam lemah
dari bibirnya. Pras menyandarkan kepala si wanita ke pangkuannya. Dia memeriksa
denyut nadi wanita itu.
Mendadak, dari
dalam Laboratorium Jaringan, ada suara kunci pintu yang berusaha dibuka. Pras
dan Yahya langsung membeku. Mereka saling pandang dengan waspada. Keduanya
langsung menatap pintu Laboratorium Kultur Jaringan yang tampak bergerak.
BRAK!!
Jantung Pras dan Yahya sempat berhenti sedetik. Yulia tiba-tiba ambruk setelah berhasil membuka pintu dengan susah payah. “Hwaaaa......hiks hiks hiks... Kalian lama banget....hiks...hiks...”
“Yul...kamu
kenapa?” tanya Pras panik.
“Hiks...hiks...aku
takut, Pras....hiks...hiks...” Yulia melampiaskan rasa takutnya dengan menangis
sejadi-jadinya. “Begitu kamu selesai telepon, ada yang gedor- gedor pintu
Lab...hisk...hiks....Pas ku buka ga ada siapa-siapa. Huhuhuhu....ga lama ada
yang gedor-gedor lagi.”
“Kamu yang
telpon ke lab ku?” tanya Yahya hati-hati. Yulia mengangguk lemas sembari
berlinangan air mata. “Maaf, aku ga dengar ada telpon, aku di samping inkubator
shaker.”
“ Trus kita
harus gimana sekarang? Mereka harus dibawa ke rumah sakit,” kata Pras.
Yulia baru
menyadari, ada dua orang lain yang sedang pingsan. “Mereka siapa?”
“Ga tahu.
Begitu ketemu, mereka sudah pingsan,” kata Yahya menjelaskan. “Laki-laki ini yang
menggedor-gedor pintu mu.”
“Ha?” Yulia
terkejut. “Ga mungkin. Tadi aku dah nengok koridor, ga ada siapa-siapa.”
“ Mungkin yang
pertama tadi memang bukan manusia, Yul. Tapi yang kedua kayaknya memang dia,”
jawab Prass enteng. Yulia semakin keras menagis.
“Sudah, sudah.
Sekarang kita perlu bantuan. Kita harus panggil petugas keamanan untuk bantu
kita mengankat dua orang pingsan ini dan mengantar mereka ke rumah sakit,”
himbau Yahya.
Kemudian,
Pras menghubungi pos petugas kemanan dengan telepon paralel. Yulia memberikan
pertolongan pertama dengan mengoleskan minyak angin yang kebetulan selalu ada
di saku jas lab-nya. Tak lama kemudian dua petugas kemanan datang. Mereka
kemudian mengangkat dua orang pingsan tersebut dan mengantarkan mereka ke rumah
sakit terdekat. Yulia pun mendapatkan perawatan karena sempat mengalami
ketakutan hingga histeris. Pras dan Yahya kemudian kembali ke kampus,
mebereskan pekerjaan masing-masing, kemudian bergegas kembali ke rumah sakit.
***
Setelah
mendapat perawatan medis, dua korban pingsan itu pun siuman. Mereka tidak
diperbolehkan menerima kunjungan hingga kondisi kejiwaan mereka stabil. Begitu
mendapat kabar bahwa si laki-laki sudah boleh dijenguk, Pras, Yahya, dan Yulia
langsung mendatanginya.
“Jadi, pas aku
mau minta tolong pada Anti, dia malah teriak kemudian pingsan. Aku sendiri
kaget, karena dia benar-benar pingsan. Aku tak tahu harus bagaimana, jadi aku
berusaha membangunkannya. Begitu dia siuman, dia tampak kaget sekali lalu pingsan
lagi. Aku mencari bantuan. Semua lab tutup, termasuk lab mu saat itu, Ya,” si
korban laki-laki menceritakan kronologi kejadian kemarin sore. “Kayaknya kamu
pas ke rumah kaca. Terus aku ke lantai dua, siapa tahu ada orang yang lembur.
Aku dengar ada suara dari Lab jaringan. Aku memastikan orang, tapi begitu aku
sudah di depan pintu Lab, suaranya hilang. Jadi aku mencoba masuk untuk minta
tolong. Ternyata pintunya dikunci. Karena lama tak dibukakan, aku kembali
menghampiri Anti, siapa tahu dia sudah sadar. Tapi ternyata belum. Aku berusaha
menggendong Anti sampai di Lab Jaringan. Apa daya tenaga ku habis. Aku mulai
tak kuat berdiri. Aku menyandarkan Anti di bahuku, dan tetap berjuang mengetuk
pintu Lab Jaringan, berharap kami segera ditolong. Rasanya lama sekali. Seperti
sudah berjam-jam. Aku senang sekali saat melihat wajah Yahya.”
Yahya, Pras,
dan Yulia mentap senior mereka tanpa komentar. Tatapan mereka seakan bisa
membunuh seekor gajah.
“Kok wajah mu
bisa sepucat itu?” tanya Pras penasaran. “Pantas Anti ketakutan setengah mati.
Aku dan Yahya saja tak mengenali mu.”
“Oh....itu
karena aku terlalu lama di ruang steril, kan suhunya dingin banget. Tanpa sadar
aku sudah dua hari tak keluar dari sana mengejakan kultur. Tahu-tahu sudah sore
dan lapar sekali. Pas mau minta makan ke Anti, dia malah pingsan,” terang si
senior santai.
Yahya, Pras,
dan Yulia langsung meletakkan segala macam makanan yang mereka bawa. Kemudian
mereka meninggalkan ruangan pasien tanpa bicara. Mereka, sama dengan kalian
para pembaca, merasa kesal dan konyol sudah ketakutan gara-gara orang
kelaparan. (End)