Herry Eka Sanjaya Pedofilia Gila...........hmmm.....pertama kali ku
sebut dia pedofilia kapan ya? Sepertinya setela Aubade deh....Setelah kejadian
yang cuma sepuluh detik saja. Setelah pasukan paskibraka dizinkan istirahat,
dia berlari menghampiri ku. Memegang bahu ku dari belakang dengan kedua tangannya
yang hangat itu, memutar tubuhku, tersenyum manis sekali, memelukku, lalu
membisikkan, "Aku kangen banget sama kamu, La." dan lima detik
berlalu. Dia melepaskan pelukannya, lantas mengecup pipiku. tersenyum lagi,
kemudian berlari kembali pada pasukan paskibrakanya.
Yang ku ingat, hembusan nafasnya di dekat telinga ku, debaran
jantung ku, dan sepasang stik dengan bendera merah putih yang ku genggam erat
sampai basah. Kata Rena aku mematung begitu lama, dengan tampang bodoh dan
tatapan mata kosong.
Ah....laki-laki sialan itu memang menyebalkan!
OK. Dia laki-laki paling sialan yang ku kenal. Teman sekelas sepupu
ku. Tiga tahun lebih tua dari ku. Dan tingginya melebihi tinggi ku. Kesenangannya
adalah membuat ku tampak bodoh atau mengubah wajah pucat ku jadi merah.
Dia melihat ku sedang main kejar-kejaran dengan Barbie-kucing
kepupu ku. Ya maaf kalau aku tampak memalukan. Kaus putih gambar Helo Kitty
yang ku kenakan saat itu sudah tidak putih lagi, penuh debu, tanah basah,
serpihan rumput kering, dan makanan kucing yang hampir kering. Dan siapa yang
menyangka bermain di halaman belakang rumah Pakdhe ku tidak menjamin privasi
ku. Tak pernah ada tamu yang nyelonong ke halaman belakang. Tak ada tamu yang
mengawasi anak SD berguling-guling di rerumputan sembari memeluk kucing Anggora.
Begitu aku sadar ada orang berjongkok di depan pintu ruang keluarga dan menatap
ku, dia sedang tersenyum seperti penderita pedofilia menemukan mangsa baru. OK.
aku berlebihan, toh aku baru mengerti apa itu pedofilia setelah SMP. Dia
melihat ku dengan tatapan orang yang menonton acara kartun kesayangannya. Saat
itu aku memangku Berbie, senpatuku entah dimana, dan kaus kaki kanan ku robek,
dan gigi taring kiri ku ompong. Aku melongo melihatnya. dia senyum-senyum
melihat ku. Saat kak Rifan menepuk bahu laki-laki sialan itu, mata ku sudah
berair karena ingin menangis. Aku malu sekaligus kesakitan karena Berbie menggigit
jempol ku dengan serius.
Aku menangis meraung-raung tak lama setelahnya.
Sejak saat itu, laki-laki sialan itu terus bertanya tentang ku.
Sengaja datang ke rumah Pakdhe dengan alasan belajar kelompok dengan kak Rifan
bila tahu aku dititipkan di sana. Mengintip ku bermain. Menyembunyikan Teddy
boneka beruang ku. Meminum susu ku serta menghabiskan camilan sore ku. Bila aku
ketiduran di karpet di depan TV setiap noton Walt Disney, dia akan ikut tidur
di sana. Saat aku mengerjakan PR dia akan menjadi pengawas yang terus menerus
mengganggu, bukannya membantu.
Dia terus begitu hingga kelas tiga SMP. Lalu, saat dia diterima di
SMA 1 dan kak Rifan gagal, dia meratap lebih banyak daripada kak Rifan yang
santai-santai masuk SMA swasta.
Ketika kabar itu sampai pada ku, aku bahagia setengah mati. Akhirnya
kebebasan ku telah tiba. Dia tak akan punya alasan belajar kelompok lagi di
rumah Pakdhe. Sangking bahagianya, aku memberinya selamat saat bertemu.
Dia menahan tangan ku yang terulur memberinya selamat. Sementara
aku berjuang menarik tangan ku yang digenggam dengan sangat kencang itu, dia
menatap ku seakan tiada hari esok. "Kok kamu bahagia banget sih, La?"
katanya.
"Hwee.....sakit...lepasin...Hweee...,"
rengek ku masih berjuang melepaskan tangan ku.
"Kamu
ga boleh naksir cowok lain. Apalagi pacaran. OK." katanya ngawur.
"Hweee.....kak Rifaaaaan......," aku berusaha mencari
bantuan. Namun tak ada yang mendengar.
Rupanya
kak Rifan sedang berjuang melawan sembelitnya di WC.
"Hihihihi,"
dia tertawa bahagia," Aku kangen liat kamu nangis.”
Omongannya malah semakin membuatku ingin
nangis. "Hweee.....hiks..hiks.."
"Gih
nangis. Nanti ku cium."
Aku
langsung diam. Seketika tubuhku membatu. Aku takut dia mencium ku. Dia malah
makin tertawa. Namun, meski aku berjuang tidak menangis, rupanya air mata ku mengalir
deras. Badan ku sampai gemetaran karena takut. Aku tak bisa melihat wajahnya
dengan jelas, karena pandangan ku terganggu air mata.
Mungkin dia kaget atau bagaimana, yang jelas pegangan tangannya
mengendur. Dia lalu memegang bahu ku, memelukku, lalu meminta maaf dengan
tulus.
Pada saat kejadian itu berlangsung, kak Rifan datang dengan
perasaan lega sembari mengelus-elus perutnya yang sudah datar. "Walah...malah
nangis dipamitin musuhnya. Hmm...ketahuan kan, kamu sebenarnya suka sama si
Herry." Dia lantas tertawa sembari mengacak-acak rambutku. Aku terluka
dengan perkataan kak Rifan.
Enak aja aku suka dia!! Tangis ku malah pecah.
Dan laki-laki sialan itu memelukku makin erat sembari mengelus
kepala dan punggung ku, maksudnya berusaha menenangkan ku. "Cup
cup...nanti kak Herry main ke rumah sini kok, sesekali. Jadi kamu ga usah
sedih, La."
"Pergi
sana yang jauh dan ga usah kembali!!!" bentak ku dalam hati. Cuma dalam
hati.
Sesuai janjinya, dia sesekali datang mengunjungi kak Rifan. Namun
aku sudah jarang dititipkan di rumah Pakdhe. Aku masuk SMP yang arahnya
berlawanan dengan arah rumah Pakdhe.
Aku ke sekolah naik sepeda, dan bilang pada ayah dan ibu bahwa aku
sudah berani di rumah sendirian sepulang sekolah. Kebetulan pembantu rumah
tangga nenek dijinkan pindah ke rumah ku satu, Kata kak Rifan dia selalu
menanyakan ku, mirip detektif investigasi. Namun aku toh tak bertemu dia, jadi
hidup ku tentram dan damai.
Itu
menurut ku.
Laki-laki sialan itu tidak menyerah. Dia menunggu ku di gerbang
sekolah. Sesekali menitipkan surat pada teman-teman ku, bilang kalau nanti dia
akan menjemput ku di gerbang sekolah. Malahan sesekali dia ngobrol dengan wali
kelas ku, mengaku sebagai sepupu ku yang diutus menjemput ku pulang. Kebohongannya
itu, entah bagaimana dipercaya banyak orang.
Aku sering diam-diam pulang lewat pintu belakang, kebetulan ada
jalur evakuasi. Dengan sogokan kue-kue, aku berhasil membujuk Penjaga sekolah
membukakan pintu itu sesekali. Namun keberhasilan ku tak bertahan lama. Laki-laki
itu bukan hanya sialan, dia licik.
"Kamu
mau kabur kemana sih, La?"
Aku
cemberut dan mengabaikannya. Rasanya aku ingin menangis lagi kali ini. Namun berhasil
ku tahan. Ya Allah.....kenapa ada orang seperti dia?
"Sini sepedanya," dia merebut sepedaku. Meletakkan tasnya
di keranjang, lalu menungganginya.
"Cepetan
duduk," perintahnya, menyuruh ku duduk di jok belakang.
Dengan
terpaksa dan kesal setengah mati, aku menurut. Kalau kau harus jalan pulang kan
jauh.
"Pegangan
dong...,"pintanya.
Hih!
coba aku bawa tali pramuka! Ku cekik sekalian lehernya dari belakang!
"Sheila.....pegangan
dong...," ulangnya.
Karena usaha ku di masa lalu menolak sekuat tenaga untuk tidak
berpegangan pada dia hanya membuahkan kekalahan, sebab dia orang yang sangat
sadis, dia tidak akan beranjak sedikit pun sebelum aku berpegangan padanya, dan
itu berlangsung selama lima belas menit, maka kali ini aku terpaksa hanya
berpegangan pada kain seragamnya. aku tidak mau memegang pinggangnya!
Dia tersenyum. Aku yakin dia tersenyum karena menang. Lalu sepeda
kami mulai melaju pelan.
"Kamu
boleh lho kalo mau pegang-pegang pantat ku," katanya ganjen.
"Aaaaarggggggg!!!!"
aku berteriak frustasi. Sialan! siapa yang mau pegang2 pantat mu!
Aku selalu merasa lelah tiap kali dijemput olehnya. Rasanya umurku
berkurang sebulan tiap kali harus bertemu dia. Bahkan dalam sholat ku, aku
selalu berdoa agar dia menghilang.
Setelah satu semester berlalu, doa ku dikabulkan. Dia tak pernah
muncul lagi. Kata Kak Rifan dia sibuk menjalani ekstra kulikuler sekaligus
persiapan pelantikan pengurus baru OSIS. Tanpa alasan, aku memeluk kak Rifan
dan berterimakasih. "Halah, ntar kamu kangen lho, La," kata kak Rifan
usil.
Tapi
kak Rifan salah. Aku menjalani hari-hari penuh kebebasan dengan antusias.
Kemudia bulan Agustus tiba. Siswa kelas dua diminta mewakili
sekolah menjadi peserta upacara bendera, terutama sebagai peserta aubade. Kami
diminta latihan di alun-alun kota setiap Jum'at dan Sabtu sepulang sekolah. Aku
sih tidak keberatan, toh rumah ku berjarak dua kilometer saja dari alun-alun.
Aku menjalani hari-hari latihan aubade tanpa mengetahui datangnya bahaya.
Yeah....empat
kali latihan tanpa ada kejadian berarti.
Tepat pada saat gladi bersih tanggal 16 Agusutus, dia
meluluhlantakkan dunia ku. Gara-gara dia sering menjemput ku dulu, beberapa
cowok di sekolah mengurungkan niat mendekati ku. Berkat keberaniannya, bahkan
total semua penggemar ku mengundurkan diri. Rena dan teman-teman lantas mengintrogasi
ku, menanyakan kebenaran hubungan kami, bertanya apakah dia sepupu ku atau
bukan. Ya ku jawab bukan. Mereka serempak ber "Ohhh....." lalu
menyebar.
Dan kabar itu pun menyebar esok harinya, tanggal 17 Agustus, status
ku berubah jadi ‘Sheila yang sudah punya pacar anak SMA 1’. Sekuat apa pun aku
berusaha meluruskan kekeliruan, mereka malah semakin yakin kalau aku ini sudah
pacaran dengan laki-laki sialan itu. Baiklah, aku menyerah saja berusaha membersihkan nama. Aku berusaha
mengabaikan gosip. Toh yang terpenting aku tak bertemu lagi dengannya.
Tapi
aku salah. Kelangsungan hidupku selanjutnya jauh dari bayangan ku selama ini.
Hari itu tanggal 30 Agustus, dia mengirimkan hadiah ulang tahun dengan
sengaja. Karangan bunga dengan tulisan besar-besar "Semalan Ulang Tahun ke
14 Sheila".
Satu
sekolahan heboh.
Aku
pun heboh, memangnya aku sudah mati dikirimi karangan bunga begitu?!
Tak lama setelahnya aku memang merasa nyawa ku sudah dicabut. Dia
mengirimkan hadiah dan bunga mawar ke rumah. Membuat ibu dan ayah ku tersenyum-senyum
curiga namun sebenarnya bahagia. Dan tepat pukul tujuh dia nongol di pintu
rumah ku.
"Hai,
La." sapanya dengan wajah cerah ceria.
Aku
menutup pintu di depan mukanya.
"Lho?
Siapa tamunya?" tanya ibu ku.
"Orang salah alamat, Bu."
Tapi bel rumah berbunyi lagi, lagi, lagi, lagi, dan lagi, hingga
membuat telinga ku berdenging.
Dia
berhasil. Ibuku sendiri yang mempersilakan dia masuk.
"Maaf lho tante, saya merepotkan. Sheila langsung menutup
pintu begitu melihat saya."
"Ah, saya yang minta maaf, karena Sheila tidak sopan. Ayo,
silakan duduk. Sebentar ya, tante buatkan minum."
Begitu
ibu ku pergi, dia cengar-cengir.
"Ih....cembertu
aja, La?" godanya.
"Biarin!"
"Galak
banget."
"Bodo
amat!"
"Ga
suka ya aku datang?"
"Ga!"
"Berarti
suka dong aku datang."
Sialan!
Orang ini memang harus dibasmi!
Tanpa ku sadari, air mata ku mulai menggenang. Dia menyadarinya,
lantas diam saja.
Tapi yang diam mulutnya! Matanya ga bisa diam! Aku mulai salah
tingkah dilihat seperti itu.
"Kok diam aja?" suara lelmbut ibu mengagetkan kami
berdua. Dia kaget karena melamunkan entah apa tentang diriku. Aku kaget karena
suasana tegang itu mendadak buyar, tapi sekaligus lega.
"Sheila,
ambilkan kue gih." pinta ibu sembari menyentuh bahu ku.
Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk meregangkan otot-otot yang kaku.
Secepat kilat aku sudah pindah ke dapur. Sayup-sayup aku mendengar percakapan
mereka. malahan kali ini ada suara ayah. Aku sedikit lega. Pasti dia jadi ingin
buru-buru pulang karena ditunggui ayah dan ibu. Berarti penderitaan ku cuma
sebentar.
Aku membawa kue coklat dan biskuit yang disiapkan ibu tanpa bisa
menghilangkan rona kebahagiaan karena dia sebentar lagi pulang. Rupanya aku
keliru lagi. Suasana di ruang tamu itu hangat, ceria dan jauh dari kesan
"dia sebentar lagi pulang". mendadak senyum ku pudar dan badan ku
lemas.
Rasanya dada ku penuh sesak dengan perasaan kesal. Entah cemburu
karena keakraban mereka atau kesal karena ternyata mereka akarab? Aku tanpa
sadar akhirnya menangis setelah meletakkan kue dan biskuit itu di meja. Aku
sesenggukan tanpa sengaja, beneran deh ini ga sengaja. Dan airmata ku sudah
keluar seperti sungai. Halah....memalukan banget sih?!
Ayah, ibu, dan sialan itu malah tertawa.
"Tuh kan....kamu bahagia sampai nangis ketemu si
Harry...." suara yang tak asing itu mendadak muncul dan menyempurnakan
kegagalan hari ulang tahun ku. Reflek aku mencari sumber suaranya, dan kak
Rifan sudah berdiri di ambang pintu membawa bungkusan hadiah. Ya
Allah.....ambil saja nyawa ku.....huhuhuhuhuhu (T~T)
Sejak
saat itu, aku selalu melewatkan hari ulang tahun dengan air mata.
Ulang tahun ke lima belas, dia datang dengan membawa setumpuk buku
pelajaran. Ayah dan ibu mengumumkan bahwa dia akan menjadi teman belajar ku
menyambut ujian. Oh...adakah hadiah ultah yang lebih buruk dari ini? Sepanjang acara
bimbingan belajar yang pertama itu, aku menangis sesenggukan karena sebal
sembari mengerjakan soal-soal yang sulitnya setengah mati. Dia cengar-cengir
saja melihat ku menangis.
Ulang tahun ke enam belas, dia mengambil sepeda ku di parkiran
sekolah. tentu saja dengan bantuan penjaga sekolah, mengingat dia alumni di
sana. Aku sudah panik dan mulai menangis di gerbang sekolah setelah berusaha
mencarinya selama satu jam. Lalu dia muncul dengan senyum cerah ceria
mengendarai sepeda ku membawa buket mawar merah.”Hai, La. Lama ya nunggu aku?”
Aku bersumpah bahwa aku tidak akan memaafkannya meski saat itu dia menggunakan
celana jeans, hem kotak-kotak yang tidak dikancingkan memperlihatkan kaus basketnya,
dengan rambut cukup panjang yang bahkan bisa dikucir. Bagaimana dia tahu itu
gambaran cowok idaman ku?! Akhirnya aku terpaksa pulang bersama sebab mata ku
tak bisa dibuka karena kebanyakan menangis.
Ulang tahun ke tujuh belas, tak seorang pun memberiku selamat.
boro-boro, ayah dan ibu malah pergi ke rumah nenek, menjenguk bayi ke dua bibi
Alia. Aku terpaksa tidak bisa menyusul karena begitu pulang sekolah hujan turun
deras disertai angin. Listrik padam, dan aku di rumah sendirian. Aku meringkuk
dalam selimut sembari duduk di ruang tamu, deterangi cahaya lilin yang sebentar
lagi minta ganti. Tas ransel ku sudah siap dan sepeda ku sudah siap di dekat
pintu. Harapan ku, begitu hujan reda, aku akan segera bersepeda ke rumah nenek.
Barusan ada pengumuman di radio bahwa salah satu tiang listrik utama harus
diperbaiki karena tertimpa dahan pohon. Daripada aku sendirian dalam gelap
begini, lebih aman bila aku menyusul ayah dan ibu.
Aku menangis sendirian sambil merenungi pertambahan usia ku. Ah,
betapa malangnya peringatan ulang tahun ke tujuh belas ini. Aku jadi
membandingkan peringatan ulang tahun ku sebelumnya. memang tidak bisa diaktakan
menyenangkan, karena aku selalu menangis. Setidanya ada orang lain yang ada di
dekat ku. Tidak seperti sekarang, sendirian dalam gelap, dan kedinginan. Meski
aku sebal bila mengingat siapa yagn manyebabkan ulang tahun ku selalu dipenuhi
air mata, namun dalam hati aku berterimakasih bila ada satu saja orang yang
datang menyelamatkan ulang tahun ku kali ini.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dipintu. awalnya aku tidak yakin
itu suara ketukan pintu. Ku pikir itu suara angin yang membentur bangunan. lagipula
aku sibuk menangis. namun suara ketukan itu berubah jadi gedoran. Mendadak
kulit ku meremang, ketakutan. sempurna, sekarang aku malah ketakutan. aku yakin
itu bukan orang tua ku, karena mereka pasti punya kunci rumah.
Aku beranjak pelan-pelan dari kursi. Masih dengan selimut yang ku
gunakan sebagaimantel, dan lilin yang
hampir padam di tangan ku, aku pelan-pelan mendekati pintu. Suara gedoran itu
masih terdengar. aku berteriak menanyakan itu siapa, namun suara angin, hujan,
dan gedoran pintu itu mengalahkan teriakan ku yang tak seberapa. Ragu-ragu aku
memasukkan kunci ke lubangnya. Aku berhenti dan tak ingin meneruskannya. Namun
aku lebih takut jika tidak membukanya, maka aku membukanya pelan-pelan. Setelah
pintu jelas-jelas tidak terkunci, aku bukannya menarik kenop malah mundur beberapa
langkah ketakutan. Sayup-sayup aku mendengar nama ku disebut.
Aku mematung, mencondongkan telingaku ke arah pintu untuk
memastikan apa yang ku dengar benar. Rupanya benar, saiapa pun orang di balik
pintu itu, dia mengenal ku. Jadi aku menepis keraguan ku dan menjulurkan tangan
untuk membuka kenop pintu.
Baberapa senti sebelum aku berhasil meraih kenop pintu, pintu
mendadak terbuka. aku berteriak kaget karena melihat sosok tinggi gelap berdiri
di ambang pintu. aku terjerembab jatuh dan lilin yang ku pegang terpelanting.
Apinya padam. Keadaan di sekitar ku jadi semakin gelap, dan bayangan orang di
pintu itu semakin seram. Aku tak tahu lagi seberapa kencang teriakan ku, yang
ku tahu aku tenggorokan ku terasa kering.
Ditengah kepanikan itu, aku merasa ada seseorang yang memelukku.
Mana ku tahu itu siapa, aku memejamkan mata karena ketakutan. Awalnya aku
meronta-ronta ingin dipelaskan. namun dekapannya tidak kendur sama sekali.
Entah berapa lama aku berusaha melepaskan diri, hingga pada akhirnya tenaga ku
habis. aku sudah tak sanggup meronta lagi.bahkan berteriak pun aku tak bisa.
Baru itulah aku menyadari ada yang memelai punggung dan kepala ku.aku mulai
merasa aman dan pasrah dalam dekapan entah siapa. mungkin aku mimpi buruk dan
ayah atau ibu berusaha menenangkan ku.
Ah iya, pasti hujan deras dan mati lampu itu cuma mimpi buruk. maka
aku mulai menyandarkan diri pada bahu bidang orang yang memelukku. Sayup-sayup
aku mendengar nama ku disebut. aku juga mendengar suara semacam,
"tenanglah, tenanglah..." dan juga "tidak usah takut
sayang..." lalu suara, "kamu tidak sendirian...." atau apapun
lah itu. Maka aku semakin yakin kalau itu ayah atau ibu. Aku balas memeluknya.
berharap mimpi buruk ku sudah berakhir dan segalanya normal saja.
Sepertinya waktu berjalan lambat, atau memang aku gugup terlalu
lama? seingat ku aku lama-lama merasa dingin. Ah, terpaan angin itu. Lho?!
berarti pintunya beneran terbuka?!
Kesadaran ku belum sepenuhnya kembali ketika pelukan itu mulai
mengedur dan tubuhku di dorong pelan menajuh dari orang yang memelukku.
Perlahan aku membuka mata dan mendapati wajah yang tak asing dengan rambut
panjang berantakan. "Kau siapa?" kata ku tanpa sadar. Dia tersenyum,
membelai pipi ku, lalu mendadak wajah kami jadi sangat dekat, lalubibir ku jadi
dingin dan basah.
OK. Kalau memang ini mimpi buruk, memangnya tak ada yang lebih
buruk selain ini? Aku mungkin gila, tapi pikiran ku mengatakan kalau sekarang
ini aku sedang dicium oleh orang
berambut panjang berantakan. Memangnya apa bagusnya mendapatkan ciuman pertama
dari entah siapa dalam keadaan kacau balau, lelah, ketakutan, dan listrik mati?
Please
deh Ya Allah, masa sweet seventeen ku sempurn? Sempurna hancurnya!
Well sehancur apapun itu, biarlah, aku tak bisa lagi membedakan ini
mimpi atau sungguhan. Yang ku tahu sih tubuh ku jadi lebih rileks. Mungkin ini
titik balik mimmpi buruk. Berarti sebentar lagi aku bangun. OK. kita tunggu
saja. Hmm....kita tunggu saja. Baiklah....ditunggu saja. Tapi kok tidak selesai-selesai? Emmm......tunggu,
aku tidak bisa bernafas atau aku lupa bernafas? Oh bagus, sekarang mungkin aku
akan menghembuskan nafas terakhir!
Mendadak aku tersedak. Kemudian aku batuk-batuk. tangan ku
mencengkeram baju entah siapa itu dan terus batuk. " Kamu memang ga
romantis, La." kata sebuah suara. Dan aku langsung sadar, siapa orang itu,
apa yang baru saja terjadi, dan ini bukan mimpi.
Hal pertama yang kulakukan adalah melotot dan hal pertama yang dia
lakukan adalah tersenyum bahagia.
Aku menangis lagi (T~T)
"Cie.....yang
habis jadian," ledek kak Rifan sembari mengunyah kerupuk udang. Aku cuma
mencelos.
Kak Rifan malah senyum-senyum nyebelin. Aku cemberut. Kami sedang
duduk di sofa tua di rumah nenek. Keluarga besar kami berkumpul untuk menyambut
bayi mungil tante Alia. karena kami terkenal suka ribut, maka kami diusir dari
kamar bayi mungil itu disuap sekaleng kerupuk udang kesukaan kami dan
disarankan duduk manis sembari nonton TV.
"Gimana?
Enak ga?"
"Apanya?!"
jawab ku sewot.
"Hihihihihi....."
kak Rifan malah ketawa ngikik. Aku menghela nafas panjang melampiaskan rasa
kesal ku.
Sebal
pada kak Rifan. aku melempar bantal padanya. Dia malah makin terkikik bahagia.
"Kak Rifan nyebelin!"
"Yeee....ni
anak kenapa sih? sewot banget." Kak Rifan melempar balik bantal tadi.
" Udah deh, La...akui saja kamu tu cinta mati sama Herry.”
"Aku
ga suka sama dia," jawab ku ketus.
"Halah.....mulut
mu aja ngomong ga suka. Tapi hatinya bahagia."
"Dih...sembarangan.
Emang kak Rifan tahu hati ku kayak apa? Wuuu...sok tau!"
OK, kejadian kemarin itu memang tidak diketahui siapa pun. Aku berhasil
mengusir makhluk paling menyebalkan di muka bumi ini pulang lima menit sebelum
ayah dan ibu kembali dari rumah nenek. Tapi mulut orang itu pasti tidak bisa
diam, aku yakin dia cerita macam-macam pada kak Rifan, mengingat persahabatan
mereka. Nyatanya benar dugaan ku, kak Rifan langsung senyum-senyum usil sejak
pertama bertemu di rumah nenek. Mulut pedofil itu memang harus dibungkam!
Aku mencoba mengacuhkan tatapan usil kak Rifan dan berkonsentrasi
pada film yang diputar di TV. Lalu ayah lewat, barusan pulang dari pasar mengantar
nenek dan budhe belanja untuk tasyakuran adik bayi nanti sore.
"Om,
si Sheila dah punya pacar lho."
Ih...tu
mulut memang minta dijahit! Aku melotot pada kak Rifan lalu panik menunggu
reaksi ayah.
"Oh
ya? sama siapa?"
"Herry,
Om. Itutuh....cinta sejatinya Sheila," ledek kan Rifan. Dia ketawa puas.
"Lha
bukannya sudah dari dulu?" Ayah menatap ku, meminta jawaban.
Aku
membalas tatapan ayah dengan putus asa. lalu menggeleng pelan.
"Ah,
dia aja ga mau ngaku, Om."
Hedeh.....ni
mulut kak Rifan emang perlu disumpal.
"Hahahaha...."
ayah malah tertawa. Kemudian ayah mengacak-acak rambutku," Ga papa kok,
ayah sudah tahu kok." Jantung ku melompat sedetik, jadi ayah tahu kejadian
mekarin sore?! Mati aku! "Ayah sih setuju saja. Dia anak yang baik."
dalam hati aku mengutuk Herry Eka Sanjaya Pedofil Gila!!! "Cuma Sheila aja
belum sadar," kata ayah bijaksana. Hati ku mencelos.
"Tuh
kan....Emang yang bermasalah tu otak mu, La." sahut kak Rifan. Aku
mengutuk kak Rifan juga.
Lalu
ayah berlalu untuk ngobrol dengan Pakdhe.
Aku
langsung menyerang kak Rifan dengan bantal. Dia tak mau kalah. Akhirnya kami
perang bantal dengan seru. Tau-tau nenek sudah menjewer telinga kami.
"Sudah besar kok masih saja berantem....ganggu adeknya yang lagi bobok!"
"Iya
nek....maaf...." ucap kami sembari menahan nyeri di telinga.
Sore itu, laki-laki yang paling tidak ingin di temui di dunia
datang pada acara tasyakuran adik bayi atas undangan kak Rifan, ayah, ibu,
Pakdhe, Budhe, bahkan tante Alia.
Sepertinya aku tidak punya dukungan (T~T).
Sekarang?
Yeah, aku terpaksa mengerjakan latihan soal-soal untuk persiapan ujian masuk universitas
sekaligus ujian akhir. Dengan bangga orangtua ku menunjuk pedofil gila itu
menjadi pengawas ku. Ada meja rendah yang disediakan khusus untuk bimbingan
belajar di kamar ku. Kami duduk beralaskan karpet. Lututnya yang panjang itu
selalu ditempel-tempelkan pada lutut ku
di bawah meja.
“Kamu
pernah kangen ga sama aku, La?”
“Enggak.”
“Bohong.”
Mana
pernah dia percaya kata-kata ku?
“Pernah
mkirin aku?”
“Ga.”
“Bohong
lagi,...” katanya percaya diri.
Aku
mengacuhkannya dengan mengerjakan soal Kimia yang tak habis-habis ini.
Melihat ku serius mengerjakan soal dan mengacuhkan dirinya, dia
merebut lembar soal ku. Karena melawannya adalah percuma, aku mendiamkannya saja.
Aku berusaha memohon tanpa kata-kata, tapi sepertinya gagal. Jadi aku mengambil
buku soal yang lainnya, Fisika.
“Masa
kamu ga pernah ingat aku, La?”
“ Kadang-kadang
sih,” jawab ku sambil lalu sembari menyelesaikan soal.
Dia
merebut buku soal ku lagi. Kali ini langsung dilempar di balik punggungnya.
Aku menghela nafas panjang dan hanya menatapnya kesal. Sekali lagi,
aku mengambil buku soal Matematika. Dia langsung berusaha merebut buku soal ku
lagi. Aku berusaha mepertahankannya. Well, kalau sampai buku ini sobek, toh dia
pasti akan membelikan yang baru, jadi aku tak mau mengalah lagi kali ini.
“Kapan kau ingat aku, La?” tanyanya usil. Jarak wajah kami paling
hanya dua jengkal. Aku berjuang keras mengabaikannya dan berkonsentrasi merebut
buku matematika ku.
“Kadang-kadang,” jawab ku ketus. Tangan kami masih beradu kekuatan memperebutkan
buku soal matematika.
“Kadang-kadang
itu pas apa?”
“Mana
ku tahu, aku ga pernah sengaja mengingat-ingat.”
“Kalau
pas kamu nonton kartun Walt Disney, kamu ingat aku ga?”
“Ga.”
“Bohong.”
“Sungguh.”
“Yakin?”
“Yakin.”
“ Kalau
pas pangerannya nyium putri, masa ga ingat aku?” katanya dengan mata
berkilat-kilat penuh kemenangan.
Aku langsung melepaskan buku soal matematika itu. Dia terjerembab
kebelakang karena menarik sekuat tenaga. Kepalanya membentur lantai hingga
mengeluarkan bunyi “Duk!” yang cukup keras.
“Aduh!”
Aku
langsung meninggalkan tempat duduk ku, memeriksa kepalanya. Syukurlah tidak
berdarah atau retak. Mungkin malah lantai kamar ku yang retak, mengingat betapa
keras kepalanya makhluk satu ini.
Tanpa
sadar aku maalah mendekap dirinya saat memeriksa akibat benturan itu. Dia
senyum-senyum bahagia. “ Kalau kamu cium di situ, nanti langsung sembuh, La.”
Reflek
aku langsung menghempaskan kepalanya. Kali ini bunyi “Duk!”-nya lebih keras.
Dia berguling-guling kesakitan sambil memegangi kepalanya.
“Salah mu sendiri!” kata ku kesal. Aku sudah tidak mau peduli lagi
pada kepalanya yang terbentur itu. Siapa tahu berkat benturan dia hilang
ingatan lalu melupakan ku. Kan aku bakal bahagia. Aku kemudia berbalik, berniat
kembali ke tempat duduk ku semula dan mengerjakan soal Biologi. Tapi tangannya
berhasil menarik tungkai ku, hingga aku kehilangan keseimbangan. Kali ni bunyi
“Duk!” itu disebabkan benturan antara kepalaku dengan lantai.
“Aa!!”
aku mengaduh kesakitan. Kepalaku rasanya berputar sebentar. Dahi ku rasanya
perih.
“Kau
tak apa-apa, La?” tanyanya kahwatir. Dalam sekejab dia sudah membaringkan ku
dan menyisipkan batal diantara kepalaku dan lantai. Karena benturan itu,
kepalaku pening. Aku tak begitu mengerti apa ucapannya.
“La.....?”
katanya lembut. Dia memeriksa dahi ku, meski aku berusaha menghindar terus.
“Sebentar, biar ku periksa,
La.” Dia mencengkeram kedua tangan ku dengan tangan kirinya dan menahan
dagu ku agar tidak bergerak-gerak dengan tangan kanan. Dengan leluasa dia
memastikan keadaan ku. “Kamu memar,” katanya melaporkan.
Sebenarnya, aku tidak terlalu suka padanya. Sungguh, dari lubuk
hati ku yang terdalam aku selalu ingin memberontak padanya. Namun dari lubuk
hatiku yang terdalam juga, aku merasa betapa perhatiannya itu terkadang terlalu
baik hingga aku merasa tak pantas menerimanya. Ku akui sih, dia memang orang
yang perhatian sekali. Mengingat banyak sekali kebaikan yang dia lakukan pada
ku dulu, selain juga keusilannya yang segudang.
Mata
kami bertemu. Rupanya tanpa sadar aku mengamatinya sedari tadi. Ah...ketahuan
itu memalukan.
“Sakit?”
tanyanya.
Aku
mengangguk. Dia lalu melepaskan tangan ku.
“Dahinya
maksud ku,” katanya dengan senyum penuh kemenangan. Tapi aku tak mau
menanggapinya kali ini. Mulutnya yang tadi melengkung ke atas, langsung menjadi
datar. Hening lagi.
Aku sudah bisa menebaknya, cukup dua detik, dan setelahnya dia tak
akan melepaskan kesempatan. Ya sudahlah, toh melawan pun aku tak akan menang
dari dia. Jadi ku biarkan saja dia menyapukan bibirnya diatas bibir ku.
Yeah, memang sih, aku belum menerimanya sepenuhnya. Rasa-rasanya ku
memang tak bisa lari darinya. Ku rasa ulang tahun ku yang ke delapan belas,
sembilan belas, dua puluh, dan seterusnya akan terus ku habiskan bersamanya.
Mungkin itu sudah lama ku ketahui, sejak pertama kali aku menyadari dia menatap
ku tanpa berkedip saat pertama kali kami bertemu. Dan sepertinya aku sudah tahu
bahwa pelukannyalah yang akan terus menenangkan ku, sebagaimana saat pertama
kali dia memelukku ketika aku menarung-raung karena jariku digigit Barbie.
Mungkin kata-kata kak Rifan benar, aku sebenarnya sangat menyukainya hingga
rasa suka yang begitu kuat itu terasa menyesakkan di haiku dan ku artikan
sebagai benci. Mungkin juga kata-katanya benar, bahwa aku berbohong mengatakan
tak pernah mengingatnya, karena sebenarnya aku hampir setiap saat ingat dia
sampai-sampai itu menjadi kebiasaan sehingga tak perlu lagi sengaja
mengingatnya.
“Coba
kau sebut nama ku,” pintanya. Aku menggeleng. Memang sejauh ingatan ku, aku
hampir tak pernah memanggil namanya. “Coba sebut.....”
“Herry
Eka Sanjaya Pedofilia Gila,” jawab ku reflek. Ah...aku pasti akan sengsara lagi
gara- gara itu. [End]
_________________________________________________________________________________
~label saja~
Cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja. cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar