Translate

Jumat, 12 Juni 2015

RENATA

“Semua pengetahuan mu sampah!” ucap Renata menggelegar. Bahkan tangan kanannya mengepal seperti Bung Tomo ketika mengobarkan semangat sebelum perang.

Wina melongo. Pertama karena terkejut mendengar teriakan Renata. Kedua karena melihat kobaran mata Retana yang mencerminkan amarah sekaligus kepedihan. Ketiga, dia tak bisa mengucapkan kata-kata yang pas untuk menggambarkan ekspresi tubuh Renata yang menyerupai patung pahlawan perang di taman kota.

“Hiks....hiks....,” Renata malah mulai menangis dengan pose yang sama ketika dia berteriak lantang tadi.... “Gimana perasaan loe, Win....? Kalo cowok yang gue idolakan selama lima tahun ngomong kayak gitu?”

Wina menghela nafas.

“Pengetahuan gue, Win.....Pengetahuan gue sampah....Hwaaaaa!!!!!!” kepalan tangan renata justru makin kencang, dia melampiaskan semua rasa marahnya dalam kepalan itu. Namun tubuhnya yang tadi tegap berdiri melunglai, dan akhirnya ambruk. “Huhuhuhu.....dia ga tahu Win.....gimana gue belajar mati-matian.... Dia ga pernah lihat kamar gue, Win....yang ampe dirubuhkan Papa karena udah terlalu penuh catatan....Dia ga tahu, Win.....huwaaaaa....”

Wina menggut-manggut mengerti. Wina mengusap-usap kepala Renata sekenanya....ga niat-niat amat sih menghibur sepupunya itu. Menurut Wina, memang jalan hidup Renata terlalu banyak lika-likunya. Jika orang lain tumbuh berkembang menjadi pribadi yang makin matang setelah cobaan hidup bertubi-tubi, maka Renata berkembang menjadi mesin pengetahuan berjalan. Sangkin banyaknya pengetahuan itu, otak Renata malah jadi sinting. Renata bukan hanya ditolak cowok idolanya, dia bahkan ditolak masyarakat. Karena terlalu banyak tahu mengenai banyak hal namun tidak dilengkapi kemampuan mengerem dengan benar, Renata berkembang menjadi musuh banyak orang. Para wanita membencinya, para lelaki menghindarinya.

“Pengetahuan gue sampah, Win...... Sampah......!!! Emangnya dia ga bisa cari perumpamaan yang lebih baik, Win?”

“Iya....iya....dia bego. Udah Ren, ga usah nangis terus....keburu Om pulang. Ntar kamar lo dibongkar lagi.

“Eh?” Renata mengusap-usap air mata dan ingusnya. Dia yang tadi depresi tingkat dewa berubah 180 derajat jadi ngeri tingkat mahadewa. “Papa pulang?! Kapan?”

“Udah naik taxi ke sini,” jawab Wina kalem.

Sayangnya, hal itu berarti tornado bagi Renata.

Papa Renata adalah manusia logis. Terkadang dia bisa berperasaan sih...tapi jarang. Katanya otak Kiri Papa Renata bekerja terlalu cepat hingga otak kanannya tertinggal satu minggu di belakang. Berkat Papanya, Renata jadi gadis yang tumbuh tanpa menyadari dengan pasti perbedaan karakter cewek dan cowok. Katakanlah Renata adalah contoh anak orang terkenal yang bernasib menyedihkan.

“ Win....Win....harusnya loe kasih tau dari tadi....,” rengek Renata sembari memoleskan masker di wajahnya. “Papa bisa ngamuk kalo liat bekas air mata di wajah ku.”

“Aku mau ngomong sih....kamunya sibuk cerita tentang senior mu yang kata mu keren, hampir setara tingkat kecerdasannya dengan Om Sian, tapi nyatanya nganggep kamu sampah, Ren..” Wina menjawab santai, sembari membantu Renata mengiris mentimun untuk penutup mata.

“Kalo paswordnya Papa kan gue bakal langsung diem. Mana timunnya?”

“Nih,” Wina menyerahkan dua potong timun pada Renata, sisanya dia makan.

“ Gue mau baringan di depan TV. Kita anggap pembicaraan tadi ga ada ya.”

“Coklat bar 10 bungkus ya.”

“Gila! Naik terus jumlah coklat tutup mulut mu! “

“Masker dah mulai keras tuh....jangan banyak ngomong!” 


Maka, berakhirlah melodi patah hati Renata untuk sementara waktu. Dua bersaudara itu menyetel saluran berita di TV Kabel. Baru sebentar, ternyata Papa Renata muncul dalam pemberitaan.

“Wah...Om Sian makin tua makin ganteng aja ya.... kok ga ada sih yang mau daftar jadi ibu tiri kamu, Ren?”

Renata melempar bantal ke arah Wina, dan meleset. Gimana lagi...matanya ditutup timun. Renata tidak bsia mengumpat, karena maskernya sudah mengeras.

“Kekekekeke.... mana ada sih wanita yang mau jadi ibu tiri cewek aneh kayak kamu,” cibir Wina. “Mama aja heran kok kenapa Tante Lena mau nikah sama Om Sian. Jadi kangen deh sama Tante Lena.”

Adalah sebuah misteri bagaimana bisa Papa Renata, Sian, menikah dengan Mama Renata, Lena. Konon, Sian adalah cowok populer yang paling sering ditolak cewek karena segala sesuatu dihitung dengan logika. Kebetulan Lena adalah orang paling sabar yang mendengar semua curhatan Sian. Sesungguhnya, Lena hanya tidak tahu bagaimana menanggapi sudut pandang Sian yang begitu logis mengenai penolakan cewek-cewek. Lena bahkan bingung karena nama wanita yang disebut hari ini beda dengan yang kemarin, dan terus berganti-ganti sampai dia ga tahu benang merah cerita Sian. Lena pun tak punya maksud selama dia dekat dengan Sian. Hanya karena Sian enak jadi teman mengerjakan tugas. Ditanya apa saja pasti bisa jawab. Lena tak perlu mencari buku. Kadang Sian sudah sibuk membawakan setumpuk buku entah dari mana setiap kali Lena bertanya tentang tugas kuliahnya.

Kemudian, terjadilah human error dalam diri Sian. Suatu hari, ketika dia mengalami demam karena diguyur air es oleh salah satu wanita yang dilukainya, dan tak ada orang lain yang bisa dia hubungi kecuali Lena, Sian mengalami disconetion brain system. Ketika Lena datang, kemudian menyuapinya dengan bubur, Sian tidak bisa membedakan antara bubur itu enak atau tidak. Saat Lena meletakkan kompres di kepalanya, Sian tidak tahu yang dia rasakan panas atau dingin. Tatkala Sian melihat Lena membersihkan apartemennya, Sian tidak tahu itu mimpi atau nyata. Ketidak tahuannya membuat Sian merasa dirinya sudah jadi gila. Sian merasa otaknya berhenti bekerja, syarafnya kacau, dan menduga dirinya terkena gejala stroke. Begitu demamnya turun dan dia mendapati apartemennya kosong, hanya dia sendiri yang ada di sana, dia lebih bingung lagi, karena dia yakin selama beberapa waktu Lena mondar-mandir di sana. Maka, awal mula cerita kelahiran Renata pun dimulai dari ketidak tahuan Papanya.

Ah..kita ikuti dulu cerita Renata.

Renata yang pura-pura mengikuti berita dengan santai sembari maskeran, supaya bekas air matanya dan sembab di matanya tidak ketahuan, tetap saja terkejut ketika mendengar suara pintu dibuka. Papanya, seperti biasa tampak sempurna seperti manekin di butik desainer. Mulai dari sepatu hingga kaos polo tampak sempurna dikenakan Papanya. Namun, kesempurnaan itu mengandung bahaya.

“Apa kabar, gadis-gadis?” sapa Papa Renata. Dia meninggalkan kopernya begitu saja dan menghapiri putri tunggalnya dalam beberapa langkah panjang. Jantung Renata sempat melompat karena gugup. Untunglah, Papa tidak bisa langsung melihat ekspresinya karena tertutup masker.

“Heip...aaaa...” jawab Renata tidak jelas.

“Hai Om, tetep ganteng aja nih,” sapa Wina manis. Sian langsung mengusap-usap kepala Wina penuh sayang. Sian selalu luluh dengan ucapan manis keponakannya, meski tahu kadang cuma manis di bibir.

Sian juga mengacak-acak rambut putrinya yang sedang tiduran santai sambil maskeran. “ Hi, Dear. Long time no see you.”

Renata hanya manggut-manggut.

“ How can I kiss your cheek, Dear?” Sian menatap wajah anaknya jadi hijau kaku karena masker. Karena sebal, dibuangnya dua iris mentimun yang menutupi mata Renata. Seketika, dilihatnya dua mata berwarna hitam kelam yang amat dirindukannya, “ How are you, Dear?”

“Paiiiin....” jawab Renata bergumam.

“What?! Pain?!” Wajah Sian langsung serius. Dia tak akan memaafkan siapapun yang membuat anaknya menderita!

“Fine, Om.....Fine...,” jawab Wina menyelamatkan keadaan. Renata menghela nafas lega.

Sian makin jengkel dengan masker hijau yang menutupi wajah putri tercintanya. “Cepat hapus maskermu! Sekarang!!” perintahnya.

Renata langsung bangkit, lari ke kamar mandi. Wina cekikikan.

Dikamar mandi, Renata langsung merasa lega karena lolos dari bahaya. Dia menghapus maskernya dan memastikan di cermin tak ada bekas air mata dan kantung mata yang besar-besar. Misinya sukses. Papa tidak boleh tau dia barusan patah hati dilengkapi penghinaan tentang pengetahuannya. Bisa-bisa cowok idolanya itu berakhir dipenjara karena dituntut secara hukum oleh Papa.

Hiy...kok serem ya?

Tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk. Jantung renata sempat melompat sebentar lalu balik lagi. “ Dear, why you went so long at bathroom? Are you OK?”

Renata meratap dalam hati, berdoa semoga Mamanya masih ada untuk membantu dia lolos dari insting Papa yang kelewat tajam itu.

“ I’m fine, Pap. Wait a minute...” Renata membuka pintu kamar mandi dan disambut pelukan papanya.

“I miss you so bad, Dear.”

“I miss you to, Pap.”


Adegan kangen-kangenan antara Papa dan anak tunggalnya itu, adalah hal biasa bagi Wina. Lebih seru sebenarnya kalo melihat mereka beradu pendapat, melebihi debat calon presiden deh. 
***

Hari-hari patah hati Renata berlalu dalam ketagangan. Renata berjuang keras agar sikapnya natural, sehingga tidak mengundang kecurigaan Papanya. Kebetulan sih, Papa selalu melibatkan Renata dalam kegiatannya semenjak pulang dari seminar di Amerika. Sebenarnya Renata akan sangat senang bila Papanya mendadak harus seminar di Singapura atau Australia. Sayangnya ga ada undangan seminar sementara waktu ini. Papanya mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk putri tunggalnya.

Sian sengaja mengambil cuti beberapa minggu karena mendapat firasat aneh tentang putri semata wayangnya. Saat dia ketiduran di pesawat, dia bermimpi Lena, istrinya yang sudah meninggal, duduk di hadapannya dan mendengarkan Sian bicara panjang lebar, sembari sesekali membetulkan kaca mata yang melorot. Itu adalah saat-saat dimana Sian menjabarkan segala kemungkinan mengapa dia ditolak seorang wanita. Tapi, dalam mimpi itu, Lena menyahut, “Pria mana lagi yang menolak mu?” Sian langsung terbangun dari tidurnya.

Selama Sian di Amerika, pikirannya tak tenang. Dia sering menelepon Wina untuk mengecek kondisi putrinya. Kadang dia menelepon Renata langsung. Namun, hasrat menelepon anaknya sudah keterlaluan, sehingga untuk menghilangkan kecurigaan, dia menelepon Wina, juga sopir dan pegawai di rumahnya begiliran.

Begitu sampai di rumah, dia belum menemukan hal-hal yang mencurigakan, kecuali masker hijau kaku yang dipakai Renata saat itu.

“Papa dapat undangan ke Mesir, kamu mau ikut?”

Renata menyambut baik berita itu, namun tak mau ikut. “Enggak ah, Pap. Mesir panas. Renata di rumah aja.”

“Setelah dari Mesir, langsung ke London lho.”

“Serius?!” Renata antusias. Dia pingin naik The Eye of London.

Sian tersenyum karena umpannya disambut. “Serius. Makanya ikut sekalian ke Mesir aja.”

“Ah....Renata nyusul aja deh, Pap. Papa kan kalo lagi seminar suka nyuekin Renata. Kalo ke London kan bisa ngajak Wina, Pap. Wina ada ujian sih minggu depan.”

“Biar Wina yang nyusul.”

“Ga mau. Papa kan mebosankan.”

“Papa ga membosankan. Mama mu bilang Papa menyenangkan.”

Renata ga bisa membalas kata-kata Papa deh. Kalo soal Mama, entah kenapa Papa jadi sangat sensitif. Otak kirinya mendadak berhenti dan otak kanannya bisa menyusul bahkan kadang melampaui sehari.

Mama meninggal karena kondisinya menurun  drastis pasca keguguran. Sebenarnya sih kondisi tubuh Mama sehat, tapi penyesalan Mama karena bayinya harus meninggal sebelum dilahirkan lah yang membuat Mama jadi sakit parah. Lalu, setahun setelah calon adik Renata meninggal, Mama juga meninggal. Papa sangat terpukul. Hanya Renata yang kelihatan tegar. Keadaan malah berbalik, Renata yang lebih banyak mengurus Papanya. Kata Papa, Renata seperti Mama saat mengurusi Papa ketika terkena gejala stroke saat mereka masih kuliah.

Ah...cerita gejala stroke yang berakhir manis. Sian langsung bergegas mandi dan berpakaian rapi begitu kondisiinya sudah dirasa cukup sehat. Dia harus bertemu Lena, atau dia akan mati karena ketidaktahuan. Lena biasanya menekuni buku psikologi di sudut perpustakaan kampus. Di sanalah Sean akan pergi, jadi dia harus rapi. Hampir saja Sian hendak berlari sekuat tenaga mencari Lena mengenakan pakaian tidur. Syukurlah gejala stroke yang dia alami sudah hilang serta logikanya sudah jalan. Sean memperhitungkan segala kemungkinan untuk bertemu Lena secepatnya. Kemungkinan terbesarnya adalah Lena di perpustakaan.

Seperti dugaan Sian, Lena sedang duduk di sudut perpustakaan. Dia sibuk menulis, dan beberapa buku terbuka di hadapannya. Biasanya Sianlah yang membantu Lena mengerjakan tugas, meskipun mereka berbeda jurusan. Sian mengambil kursi dan duduk di seberang Lena. Dia mengamati, melihat kaca mata Lena yang melorot berkali-kali saat dia menulis. Sian tersenyum tanpa disadarinya. Entah sejak kapan pemandangan itu menjadi hal yang biasa dilihatnya. Kadang Sian merasa tak sabar dan ingin membetulkan kaca mata Lena yang melorot. Kadang Sian ingin membelikannya kaca mata baru yang tidak akan melorot. Namun Sian juga menikmati saat-saat Lena membetulkan kaca matanya. Senyum Sian merekah terlalu lebar. Sian bahkan masih tersenyum sangat lebar ketika Lena mengalihkan pandangannya dari tugas, dia ketahuan.

“Kau sudah sembuh?” tanya Lena. Matanya yang hitam legam menyiratkan kekhawatiran.

Sian mengangguk. Tetap tak dapat menghentikan senyumnya sendiri. “Perlu bantuan?”

Lena mengangguk. Lena memperlihatkan tugasnya, menjabarkan pada Sian kesulitan-kesulitan yang dia temui. Karena mereka duduk berhadapan, Lena harus membalik bukunya agar bisa dibaca Sian, dan menjulurkan tangannya. Sian berinisiatif untuk pindah di samping Lena.  Mereka mengerjakan tugas Lena bersama-sama dan lupa pada gejala stroke yang hendak ditanyakan Sian.

Renata pun sebenarknya sudah lupa pada patah hatinya. Dia terlalu sibuk menyembunyikan gejalanya, dan lupa bahwa penyakitnya sebenarnya telah sembuh. Hinaan seniornya itu tak berarti apa-apa lagi. Jika bersama Papanya, pengetahuan adalah hal yang berharga. Renata tahu itu. Meskipun banyak yang tidak mengerti jalan pikirannya, Papa selalu mengerti maksud perkataan Renata, kadang malah memberi masukan yang berharga. Jika bersama Papanya, Renata selalu terinspirasi untuk belajar. Kadang Wina bilang mereka adalah pasangan ayah-anak yang lebih mementikan membaca jurnal daripada makan. Wina pernah menyarankan agar Sian mempelajari teknologi pemadatan makanan dalam pil semacam milik Doraemon. Jadi dua ayah-anak itu tak perlu takut kehilangan waktu membaca karena harus makan. Renata menganggap ide Wina keren, namun Papanya hanya tertawa dan tak menanggapi.

“Papa kangen Mama ya?”

“Selalu.”

“Kemarin Wina tanya, kenapa ga ada yang mencalonkan diri jadi mama tiri ku...”

“Ga akan,” potong Papanya.

“....karena Papa sebenarnya.....,” Renata tertegun. Lupa dia mau bicara apa.

Sian menatap wajah putrinya yang begitu mirip dengan wajahnya. Hanya mata Renata yang sama persis dengan Lena. Semua gen yang muncul dalam diri Renata adalah milik Sian, kecuali kromosom Renata XX tanpa Y dan sepasang bola mata yang hitam legam. Renata yang begitu rapuh  jauh lebih sedih kehilangan Mamanya, namun dia bisa bangkit karena melihat Papanya yang menyedihkan. Sian ingat itu. “Why do you look so sad, Dear?”

“Renata minta maaf, Pap. Renata ga bermaksud.”

Sian memeluk putrinya. Dia dulu bangga karena anaknya mewarisi semua sifat fisik dirinya, namun dia sekarang bersyukur ada sifat Mamanya yang diwarisi Renata. Ah..firasat itu...

“Dear, I need you’r eksplanation about a silly boy who said ‘semua pengetahuan mu sampah’.   And why you put stupid green mask to you’r beautiful face?” –Sayang, aku perlu penjelasan mu tentang bocah menyedihkan yang bilang ‘pengetahuan mu sampah. Dan mengapa kau memakai masker hijau bodoh pada wajah cantik mu –terjemahan oleh Renata.

“O My God!!” teriak Renata spontan.

“Siapa namanya?” tanya Papa Renata dengan senyum merekah, namun penuh kemarahan dibaliknya.

Renata susah payah menelan ludah. Dia telah dihianati Wina. Dia akan meminta balik 10 coklat bar yang dia berikan kemarin!

“My Dear....?” Papa Renata menunggu jawaban.

“Aa.....itu bukan masalah yang besar, Pap. Renata juga sudah lupa kok. Cuma bercanda itu....bercanda...”

“Lalu kenapa kau menutupi bekas airmata mu dengan masker hijau dan mentimun, Sayang?”

Ketahuan! Sial!

“Renata membersihkan bekas jerawat kok, Pap. Mentimunnya untuk menyegarkan mata Renata karena kebanyakan baca buku.”

“Buku macam apa yang kamu baca sampai mata mu sembab, Sayang?”

Mampus! Sudah terpojok!

“Pap....please....,” rengek Renata. Dia memeluk Papanya dan mengeluarkan jurus mengiba. Biasanya selalu berhasil. Biasanya. Entah untuk kali ini.

Darah Sian mendidih karena marah saat Wina menceritakan apa yang dialami Renata. Bocah menyedihkan yang menghina putrinya adalah laki-laki bodoh yang menghina dirinya juga. Sian langsung mengerahkan anak buahnya untuk mencari tahu seluk-beluk bocah menyedihkan yang membuat putrinya menangis. Sian berencana menuntut bocah menyedihkan yang menganggap pengetahuan sampah itu ke kumpulan sampah masyarakat. Biar dia tahu definisi sampah dengan benar.

“Pap...please....jangan dibesar-besarkan ya Pap... Please...demi Renata,” bujuk Renata mengiba. “Renata ga diapa-apainn kok, Pap. Cuma dikata-katain... itu sih Renata sudah lupa, Pap. Please ya Pap,,,,please...”

Renata masih memeluk Papanya. Dia mendengar detak jantung Papanya begitu cepat. Ini pertanda bahwa emosi Papanya sudah melewati zona aman. Hal yang sama yang pernah diketahui Renata saat berita kematian Mama disampaikan dokter. Renata berdoa dalam hati agar emosi Papanya tak seburuk saat itu.

“Pap...please Pap....jangan marah... Please...”

Sian tak akan menyerah begitu saja. Renata adalah hartanya yang paling berharga. Bocah menyedihkan itu membuat Renata menangis. Sian pernah meruntuhkan dinding kamar Renata karena sudah terlalu penuh catatan yang ditempel hingga tumbuh banyak jamur tidak sehat disela-sela catatan itu. Bukan karena Renata mati-matian belajar istilah politik saat berjuang mengejar cinta seorang politisi. Bukan. Sian senang-senang saja melihat kegigihan putrinya. Tapi kali ini, ketika semua hasil belajar Renata dianggap sampah, dia bahkan bisa meruntuhkan sendirian rumah bocah menyedihkan yang melukai hati putrinya. Toh si bocah menyedihkan itu hanya seorang calon dewan legislatif yang belum tentu terpilih. Sean bisa mengenalkan arsitek muda, dokter bedah muda, ahli enginering muda, milyuner muda, bahkan pemain sepak bola Manchester United muda pada Renata. Mengapa putrinya harus menerima penghinaan begitu dari bocah menyedihkan calon legislatif yang hanya akan menjadi koruptor.

“Pap...please Pap....lupakan masalah itu, Pap... Please...,” Renata memohon-mohon sampai terisak-isak. Detak jantung Papanya benar-benar menghawatirkan. Renata takut papanya mendadak kena Stroke. Dia tak mau kehilangan keluarganya lagi. Itulah kenapa tangisnya makin pecah.

Sian marah sekaligus bingung. Kenapa putrinya menangis sekarang? Apakah dia begitu mencintai bocah menyedihkan itu? Tapi Sian tak mau punya menantu macam dia yang menganggap pengetahuan sampah.

“ Oh Dear...., Papa tidak bisa membiarkan mu terluka seperti ini. Papa akan membuat bocah menyedihkan itu menyesal telah menghina mu. Tapi papa tidak bisa menyetujui hubungan kalian. Papa tidak mau punya menantu yang picik.”

Renata mendadak berhenti terisak-isak, “Papa ngomong apa sih? Renata belum mau menikah kok.”

“Sebegitukah kau cinta pada bocah itu sampai menangis membelanya?” tanya Sian penuh emosi. Dia lebih baik menyerahkan gelar profesornya asal putrinya menikah dengan pria baik-baik.

Renata menatap Papanya cukup lama, perlu waktu untuk mencerna ucapan papanya. Dia tidak menangsi demi membela orang yang menghina dirinya. Tidak. Tapi kenapa Papanya mengira begitu?
“Maksud Papa?”

“Apa kamu cinta banget sama dia sampai nangis-nangis minta Papa memaafkan dia?”

Renata menatap Papanya lagi. Kali ini tatapan jengkel Papanya benar-benar menakutkan.

Sian menatap putrinya heran. Sekarang Renata bahkan tak mengerti makna kalimat sesederhana itu. Apakah otak putrinya sudah tercuci gara-gara jatuh cinta pada bocah menyedihkan itu?

“Renata ga nangis untuk dia kok.”

“Lalu?!” jawab Sian sengit.

“Renata takut Papa kena stroke karena marah,” jawab Renata sembari terisak-isak. Renata menunjuk jantung Papanya yang sedari tadi berdetak sangat cepat karena emosi. “Jantung Papa kayak mesin.”

Seketika amarah Sian menguap entah kemana. Dia baru menyadari bahwa Renata menghawatirkan dirinya, bukan karena membela bocah menyedihkan yang mencampakkannya. Renata menangis karena khawatir. Kekhawatiran putrinya tercermin begitu jelas dari kedua matanya. Dia mengenali tatapan penuh kasih itu. Tatap itulah yang membuat Sian jatuh cinta pada Mama Renata bertahun-tahun silam.

Malam sudah turun, tinggal sedikit pengunjung di perpustakaan. Sudut dimana Sian dan Lena duduk sudah sepi, hanya tinggal mereka berdua. Ketika Sian melayangkan pandangan ke arah langit di luar sana, menyadari betapa indah warna jingga ketika senja, Lena meletakkan telapak tangannya ke dahi Sian. Sian terkejut.

“Kau sudah benar-benar sembuh? Tidak demam lagi?” tanya Lena khawatir.

Sian tak menyadari, betapa dekatnya mereka duduk. Bahu Lena benar-benar berhimpitan dengan bahunya.

“Ada yang merawat ku,” jawab Sian lirih.

Lena tersenyum karena tahu yang dimaksud adalah dirinya. Lena kembali menekuni tugasnya setelah memastikan Sian sehat. Menulis dengan cepat dan lagi-lagi kaca matanya melorot. Sian tidak tahan lagi kali ini, tangannya benar-benar bisa menjangkau kaca mata Lena. Segera dibenarkannya letak kaca mata Lena. Lena menatap Sian, berterimakasih. Lalu kembali lagi menyelesaikan tugasnya.

“Berapa suhu ku waktu demam?” Sian membuka percakapan tentang kondisi medisnya.

“ Hampir 40 derajat,” jawab Lena sambil menulis tugasnya.

“Sungguh? Wow..,” Sian terheran-heran sendiri. “ Ku pikir aku kena gejala stroke.”

“Aku ketakutan saat itu. Ku pikir kau akan mati.”

“Oh ya? Apa yang membuat mu takut?”

Lena meletakkan penanya. Dia menatap Sian penuh kekhawatiran, seakan kejadian menakutkan itu baru terjadi. “Ketika aku datang, kau terbaring di sofa, tubuh mu panas sekali. Aku berusaha mengompres mu, tiba-tiba kau duduk, tapi kau malah jatuh dari sofa.”

“Kau pasti terkejut,” sahut Sian iba.

“Ya, aku sedang mencari es batu di kulkas. Kau terhuyung-huyung berusaha berdiri. Aku membantu mu, lalu menuntun mu ke tempat tidur, tapi kau berat sekali. Aku setengah menyeretmu. Kau mengigau tak karuan. Saat aku berusaha memberimu obat, kau muntah kan lagi. Aku bingung.” Kebingungan Lena tergambar jelas di matanya. “Aku membuat bubur. Ku campurkan obat penurun panasnya dalam bubur.”

“ Aku benci obat pahit,” Sian menjelaskan. “Lalu, kenapa aku ingat kau membereskan apartemen ku?”

Lena tidak langsung menjawab. Dia tampak salah tingkah. Lena berniat melanjutkan tugasnya, tapi Sian mencegahnya. Dia menahan kedua tangan Lena agar tidak memegang pena atau kertas.

“Aku juga ingat, kompres yang kau berikan terasa dingin, namun terkadang panas. Aku tak bisa membedakannya. Ingatan tentang bubur yang tak dapat ku gambarkan rasanya sudah terjawab, namun yang lain tidak.” Sian menatap Lena lekat-lekat, “Bisa kau jelaskan?”

Lena menggigit bibirnya karena cemas. Dia tidak berani menatap Sian, dia pura-pura memperhatikan kertas tugasnya. Tapi kedua tangannya ditahan oleh Sian.

“Aku tak akan marah,” bujuk Sian.

“Sungguh?” Lena dengan takut-takut menatap Sian. Sian mengangguk tanda setuju. Pelan-pelan, Lena menjelaskan, “Aku memecahkan akuarium mu. Itu...itu terjadi saat aku setengah menyeret mu ke tempat tidur. Karena kau berat, aku kehilangan keseimbangan dan...dan siku ku menyenggol akuarium mu. Emm...karena kau berat, aku setengah melempar mu di tempat tidur, dahi mu terbentur sudut tempat tidur...jadi...jadi  aku mengompres dengan telur rebus agar memar mu hilang. Kau muntah saat aku memberimu obat, jadi aku meminjam kaos mu sementara waktu, karena baju ku kotor, aku mencucinya... maksud ku...sampai baju ku kering aku pinjam kaos mu dulu... Aku langsung mencucinya begitu bajuku bisa ku pakai lagi....” Lena berhenti sejenak. Wajahnya merah karena malu.

“Masih ada lagi?” Sian tidak perlu penjelasan lagi sebenarnya. Terjawab sudah pertanyaan yang dia ajukan, tapi dia ingin mendengar Lena bicara.

Lena mengangguk. Kacamatanya melorot lagi saat dia mengangguk. Sian gemas sekali dengan kaca mata itu. Dia membenarkan letaknya. Kemudia memberi kesempatan Lena bercerita lagi. “Aku terkejut saat tahu suhu mu hampir 40 derajat. Jadi aku pikir aku harus menjaga mu. Aku mengambil selimut dan tidur di sofa. Aku minta maaf, sudah bersikap tidak tahu malu begitu. Aku khawatir. Benar-benar khawatir. Jika aku meninggalkan mu, aku takut kau mati. Maafkan aku.”

Lena terdiam. Dia menunggu reaksi Sian. Dia sangat malu karena menginap di rumah laki-laki yang bukan saudaranya tanpa izin. Sian sama sekali tidak merasa tindakan Lena salah. Dia sangat berterimakasih karena Lena sudah menjaganya. Namun Sian penasaran, mengapa Lena begitu menghawatirkan dirinya seperti tak ingin kehilangan dirinya.

“Mengapa kau takut aku mati?” tanpa direncanakan, Sian menanyakan pertanyaan itu. Dia sendiri terkejut.

Lena menatap Sian begitu dalam, mungkin karena kedua bola mata Lena beigtu hitam, sehinga Sian mengalami ilusi. Yang Sian tahu, tatap itu begitu teduh dan membuatnya terhipnotis. “Kau tidak pernah baca berita? Manusia bisa mati jika suhu tubuhnya lebih dari 40 derajat,” jawab Lena setengah marah. “Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan mu....”

Sian tertegun. Dia tersentuh mengetahui kepedulian Lena yang tulus.

“Berapa lama kau menginap di rumah ku?”

“Dua hari,” jawab Lena malu.

Sean tersenyum dan menagkup wajah Lena dengan kedua tangannya, “Menginaplah sesukamu setelah ini. Jangan pulang kalau perlu.” 


Sian mencium Lena sekilas. Namun kaca mata Lena mengganggunya.

“Kau tahu, aku berencana membuang kaca mata mu,” Sian melepas kacamata Lena dan meletakkannya di meja. “Kau perlu kacamata baru.”

“Tapi.....,” Lena hendak memprotes namun tidak bisa. Sian sudah menciumnya lagi.
***

“Jadi, malam itulah aku diciptakan, Papa?” tanya Renata menuntut jawaban. “Aku tak menyangka Papa ku seorang pria yang begitu berani.”

Renata dan Papanya sedang merajut syal bersama. Ayah-anak itu suka membuat syal saat mereka merindukan sosok Mama. Karena Mama suka membuat syal.


“Jangan meremehkan Papa. Papa tidak seburuk dugaan mu.”

“Lalu? Apa yang terjadi setelah Om mencium tante Lena?” Wina ikut nimbrung.

“Apa lagi? Mereka pasti lupa segalanya. Dan aku tercipta. Sesederhana itu, Wina.”

“Jangan menuduh,” Papa Renata menatap Putrinya tak percaya. “Papa dan Mama masih tahu sopan santun.”

“Ah...ga seru deh ceritanya, Om,” Wina memprotes sembari mengunyah coklat pemberian Sian sebagai imbalan atas informasi yang dia beberkan.

“Lalu, apa yang terjadi setelah ciuman pertama kalian?” Renata menatap Papanya menyelidik.

“Kami berhenti berciuman, saat lonceng jam tujuh berdentang. Lena langsung menyibukkan diri dengan tugas, dan aku tahu dia sebenarnya tidak bisa berhenti memkirkan ku. Papa juga tak bisa jauh-jauh dari dia. Lalu dia menyuruh Papa mengembalikan buku-buku ke raknya. Sebenarnya Papa enggan, tapi ada petugas perpustakaan yang mengingatkan kami jam tujuh tiga puluh perpustakaan tutup. Papa terpaksa mengembalikan buku-buku itu. Lalu Mama mu sudah hilang saja dari sana.”

“Hahahahaha....Papa dicampakkan...” Renata sangat senang bisa menyindir Papanya. Meskipun dia tahu ucapannya keliru. Jika benar begitu, Renata tak kan lahir ke dunia ini.

“Papa tak tahu dimana tempat tinggal Mama mu. Tapi hari berikutnya Papa bertemu lagi dengan dia, dan tak membiarkan dia lolos lagi. Papa tahu alamatnya dari petugas administrasi.”

“Apa yang Papa katakan pada petugas itu sampai dia mau membocorkan informasi pribadi mahasiswa?”

“Papa bilang, Mama mu sedang hamil anak Papa. Papa harus segera menemuinya agar bisa menikah.”

“Kyaaaa....!!! Om Sian keren!” teriak Wina semangat.

“Tapi Papa dimaki-maki Kakek begitu tiba di rumah Mama,” Renata sangat senang bisa menertawakan Papanya. Renata dapat cerita ini dari kakeknya sendiri.

“Itulah yang tidak Papa perhitungkan. Petugas administrasi itu masih saudara jauh Kakek mu. Hahahahaha....”

“ Aku iri....,” teriak Wina histeris. “Pantas Tante Lena mau menikah sama Om. Om keren banget kayak pangeran berkuda putih di cerita dongen.”

“Hahaha...kamu memang selalu pintar mencari perumpamaan, Win.”

Renata menatap foto keluarganya yang terpajang di dinding. Dia melihat betapa orang tuanya saling mencintai. Dia benar-benar merindukan Mamanya. “Ma, aku rindu Mama.”

Papa Renata meletakkan rajutannya, lantas mengacak-acak rambut putri tunggalnya itu.

“Ma, anak mu ini sudah berani jatuh cinta, Ma. Tapi gagal. Itu lebih baik, Ma. Dia jatuh cinta pada bocah menyedihkan. Aku yakin kamu juga tak akan setuju, Ma.”

“Papa jahat!”

“Bener, Tante.... Doain Renata dari sana ya, Tante, supaya dia ga salah naksir cowok lagi.”

“Winnnnaaaa...........,” geram Renata mengancam.

Ting! Tong!

“He? Tumben ada tamu. Tukang POS ya Om?”

“Nganter undangan buat seminar di London ya, Pap?”

Sian beranjak dari tempat duduknya. Dia tersenyum menatap dua gadis manis kesayangannya itu. “ Itu cowok berkualitas yang mau Papa jodohin sama kamu, Sayang. Untuk Wina juga, kalo kamu mau.”

Dua bersaudara itu saling bertatapan, heran ga percaya. Begitu Papa Renata menghilang dari ruang tengah, mereka langsung bangkit, mencoba mengintip dulu siapa tamunya biar nanti ga kaget-kaget amat saat diperkenalkan.

“Idih, Om Sian main jodoh-jodohan....kuno.”

“He’eh...kalo jelek, kita kabur aja ya.”

Begitu tamu yang dimaksud itu dipersilakan masuk, Renata dan Wina berteriak dalam hati. Kegirangan.

“ Come here, Dear...,” ajak Papa Renata agar putrinya dan keponakannya mendekat. “ I introducing Duke from London and his best friend Manchester United Member.”

“ Hi, how are you.....,” jawab Renata dan Wina kompak.
***



Catatan: Mario Teguh pernah bilang,  “Jodoh kita ada banyak. Jadi kalo ketemu si A ga cocok jangan putus asa, ada si B. Ga cocok lagi, ada si C.....terus begitu sampai kita menemukan yang cocok. Jadi jangan bersedih”

Hehehehe.....jadi pembaca, jangan putus asa ya. Ratih jug amasih mencari kok (^o^)/

Jika ada kesalahan penulisan gramar dan speling dalam bahasa Inggris, mohon dimaklumi dan diberi saran yang benar yaa.... (^^)v


Kesurupan di Bawah Pohon


Ketika sahabat sudah punya pacar, maka terimalah nasib mu sebagai obat nyamuk. Sebel sih, tapi atas nama persahabatan harus bisa tahan denger sohib cekakak-cekikik sama cowoknya sementara kita disuruh ngantriin KFC berbela-belas menit. Kadang sadar banget kalo itu tuh bego tingkat dewa! Dewa Siwa aja ga tega-tega amat ma orang, tapi sohib sendiri malah tega. Kalo ditolak ntar ngambeg, sambil melas bilang, “Kamu ga suka ya kalo aku pacaran? Jika karena aku punya cowok trus kita jadi jauh, mending aku putus aja sama cowok ku biar persahabatan kita tetep utuh.....hiks...hiks...” Pake acara nangis lagi. Udah deh, terpojok kayak bola biliar disodok kanan-kiri biar –bener-bener tepojok, diliatin temen yang lain dengan tatapan menuduh, endingnya diiyain aja tu sohib. Nemenin lagi deh, obat nyamuk lagi deh, berakhir dengan nungguin tas sementara mereka asik banget main Bom Bom Car.

Tepok Jidat!!!! Ampe rata ni jidat!!

“ Woi!”

Karena kaget, aku sampe tersedak. Es lemon tea ampe masuk hidung, dan sakit bingit. Soalnya sedotannya nusuk langit-langit mulut.

“Eh, sorry deh Gin, kalo loe keselek. Kaget ya?”

Suara si brengsek Jamaludin Wasesa tuh nyebelin, senyebelin tampangnya cengar-cengir ga jelas liat aku kesedak.

“Ya ampun....,” dia maen duduk aja di sebelah ku, ambil tisyu dan ngelap-ngelap muka ku, “kayak abis cuci muka aja sih loe, Gin...... makanya, laen kali kalo minum tu ati-ati.”

“Siala.....,” dia makin kenceng ngelap muka ku, “ra.....paco,,,,dibegini!!”

“Ngomong apa sih loe, Gin? Ga ngerti aku.”

Aku menampik tangannya ketika dia berusaha mengelap muka ku lagi dengna tisyu yang baru. Tisyu yang tadi udah lecek. “Ck! Kasar amat sih...?”

“Udah! Muka ku bukan meja tau!” Dia ketawa bahagia  banget. Aku gondhok setengah mati. Tambah gondok lagi deh liat sohib dah selesai main Bom Bom Car dan mereka menuju  ke arah kami.

Si Jamaludin mengikuti arah pandangan ku. Dia tersenyum lalu menepuk-nepuk bahuku. “Woi!” protes ku.

“Udah deh, liat kehebatan ku. Penderitaan loe bakal selesai. Tapi ada syaratnya, Gin.” Jamaludin Wasesa menaikkan alisnya sebelah sambil cengar-cengir. Aku kenal banget tuh tampang, dia punya rencana licik dan aku musti setuju ato nolak. Aku geleng-geleng kepala, ga enak tu anak kalo ngajak negosiasi, buntutnya suka nyusahin. Tapi dia ngerti banget kalo aku udah eneg nungguin orang pacaran. “Cepet Gin, putuskan! Lima detik yang mengubah nasib mu selamanya.”

“Kayak calon presiden kampanye loe!”

Tapi omongan si Jamaludin Wasesa bener, lima detik lagi pasangan ga sadar diri itu bakal sampai dan penderitaan ku bakal berlanjut. Lama-lama sahabat bisa beneran jadi musuh kalo begini. Aku musti keluar dari zona eek ini dan menyehatkan pikiran ku yang waras. Maka, sembari menatap kedatangan sohib ku dan pasangannya, ku jabat tangan Jamaludin yang ada di bawah meja. Kami sepakat. Syarat si bego itu dipikir belakangan ajah.

“Hai, Din...,” sapa Amalia renyah. Iya lah renyah, dia dipeluk-peluk mulu sama Bono. “Ga nyangka ya bisa ketemu. Kamu sama siapa ke sini?”

Tanpa pendahuluan, boro-boro pendahuluan, aku ajah nyadarnya setelah kejadian selesai, si Jamaludi Wasesa narik tangan ku –yang tadi ku pakai untuk menyalami dia tanda setuju –sampai kepalaku tersuruk ke bahunya dia. Kejadiannya cepet banget. Aku Cuma liat raut muka Amalia kaget banget sekilas. Selebihnya aku liat sweeter abu-abu si Jamaludin. “Aku ke sini mau jemput Gina. Enak aja kamu culik, kamu suruh nungguin tas di sini. Kami dah janjian mau nonton tau. Ampe aku ketiduran di bioskop sana nungguin dia ga nongol-nongol. Taunya melongo di sini liat kalian.”

Busyeeet! Pinter banget tu mulut bikin alesan. Tapi aku udah mulai susah nafas gara-gara hidung ketutup sweeternya si Jamaludin. Baru mau berjuang melepaskan diri, ada tangan ngusrek-ngusrek kepalaku. “Dia kan pengen juga ku gandeng tangannya. Kasihan Gina.”

Mulut loe minta dikucek JAM!!!!

Begitu bisa bebas dari sweeter si Jamal, tampang ku udah kayak setan Jepang yang tanduknya ada di jidat. Kalo aja saat itu aku bawa air keras, udah ku guyur ke muka si Jamaludin sialan itu!

“Akting, Gin... Akting....” bisiknya.

Akting bisul loe!!!!!!

“Kok Gina ga cerita kalo ada janji sama kamu, Din? Aku jadi ga enak,”  sahut Amalia dengan suara melas, “Gin, harusnya kamu cerita, kan kita bisa nonton bareng berempat.”

Begitu aku menatap wajah Amalia, senyum ku merekah manis, “Ga apa-apa kok, Am... si Jamal aja niy yang ga sabaran. Tadi aku dah sms dia kok. Iya kan, Jam?”

Amalia menatap ku dan Jamaludin bergantian, jelas banget dia masih syok dan ga percaya. Kali dah dia mencari kebenaran.

“Iya sih, dah sms. Tapi telpon ku ga diangkat,” jawab Jamal kalem. “ Ya udah deh, Am, Bon...kalian dah selesai kan maen Bom Bom Car. Si Gina ku ambil ya. Sekarang giliran aku yang ditemeni Gina.”
Loe kate gue apaan digilir-gilir JAM!!!!!!!!!!!

“ Yuk, Gin. Mana tas mu? Sini ku bawain.”

Eeeeeh.......beneran si Jamaludin mau bawain tas? Baik banget? Emang dah aktingnya dia nomer satu.

“ Cie.....si Gina ampe bengong gitu. Ya udah, kita nonton film berempat aja. Ga papa kan Yay?” Amalia minta persetujuan Bono.

Gara-gara mikir apa sih aku ampe bengong lama?! Mana tampang si Jamaludin keliatan nyebelin banget, cengar-cengir ga jelas. “Udah dong, Gin.... terpesonanya ga usah lama-lama....”
Sialan!!!!! Awas loe JAM!!!!!! Aku buru-buru bangkit dan liat Bom Bom Car yang udah ganti pemain.

“ Kalian mau nonton apa?” tanya Amalia.

“ Emmm....kamu nonton sendiri sama si Bono aja ya, Am. Aku pengennya berdua aja sama Gina. Kan masih baru, Am....masa dah ada yang ngekor.....”

Uwow!!!! Ku lupain dah sementara ini  rencana nuang air keras ke muka Jamaludin. Kata-kata dia barusan ngena banget ke Amalia. Mukanya langsung jelek. Ha ha ha ha!! Itu kata-kata yang pengen ku ucapin ke Amalia berhari-hari yang lalu. Bravo Jamaludin! Bravo!!

“Sorry ya, Am...”

“Iya ga papa,” Amalia mengkeret sambil megangin tangan si Bono ampe kenceng. Emang enak dikacangin!

“ Yuk,” si Jamal narik tangan ku lagi, tapi kali ini ringan aja, kode untuk segera kabur. “Kami duluan ya Am, Bon.”

“ Yo. Selamat ya buat kalian,” jawab Bono tulus.

Wakakakakakakaka.....ketipu dah mereka. Yey! Sukses!

Setelah melewati dua eskalator dan memastikan kami udah jauh banget dari si Amalia....aku ketawa bahagia banget. Ah.....senangnya....akhirnya terbebas dari pasangan baru itu... Bebas ga jadi obat nyamuk lagi!

“Kamu bahagia banget, Gin?”

“Hahahaha.....iya lah, Jam... liat tampang mereka kaget banget. Hahaha dikiranya beneran. Ketipu deh mereka.....” aku masih merayakan keberhasilan kami.

“Iya deh, iya.... Sekarang saatnya bayar syarat.”

Aku masih terlalu bahagia berhasil kabur dari Amalia dan ga ngeh si Jamaludin ngomong apaan. Tanpa sadar aku digandeng dia dan ngikut aja kemana dia pergi sembari ketawa-ketiwi ingat kejadian tadi. Begitu sadar, kami udah duduk di taman, dibawah pohon rindang, beralaskan rumput.

“Lhah, ini dimana, Jam?” aku tengok kanan-kiri, berasa ga familiar dengan tempat ini. “ Ini dimana sih, Jam?”

Wew! Wajah si Jamaludin ternyata deket ya ke wajah ku? Trus kenapa tangan kanan ku ga bebas ya? Trus kenapa tampang si Jamaludin serius banget ya?

“ Kamu tuh ga sadar apa pura-pura bego?” Jamaludin menjentik dahi ku pelan, “Dari tadi ketawa sendiri ternyata ngelamun.”

“ Enggaaaaak....siapa yang ngelamun!” bantah ku. “ Katanya mau nonton film, kok malah di bawah pohon?”

“ Beneran kamu mau nonton film?”

“ Kalo diajak ya mau lah. Diabayarin kan?”

“ Enak aja,” dia jenjentik dahi ku lagi pelan. “ Syarat yang tadi aja belom dibayar.”

“ Syarat apaan?” aku berusaha mikir, ini ngomongin syarat apaan? “Oh....iya lupa. Emang apa syaratnya? Makasih ya dah bantu aku kabur.”

Si Jamaludin Wasesa malah diem aja kayak tanda-tanda orang kesurupan. Waduh! Di bawah pohon biasanya ada penunggunya ya?! Ku tabok pipinya pake tangan kiri. “JAM! Loe ga kesurupan kan? Oi!”

“Enggak.....Gua ga kesurupan.” Jamaludin menahan tangan kiriku.

“ Kok diem?”

“ Liat kamu.”

“ He?! “

“ Jadi, Gin....syaratnya adalah, kamu ga bisa nolak ini karena kamu udah sepakat dan aku udah bantu kamu kabur. Kamu harus setuju. Janji adalah hutang. Kamu harus jadi pacar ku. Beneran pacaran. Kita jadian mulai sekarang.”

“.......”

Kayaknya gue rela dah kesurupan saat ini juga.

“ Gina.......Gina.......,” Jamaludin menggoncang-goncang bahuku. “ Kamu tau ga sih, Gin....? Tampang mu kalo lagi bloon ini yang bikin aku gemes....”

Wah.....kayaknya aku emang kesurupan! Telingaku ga beres!

##################

(^o^)/ Be happy Gina...... 

Cerita Populer