Galuh sedang merokok di tempat rahasianya. Tempat
itu adalah celah antara gudang peralatan olahraga dengan dinding pembatas
sekolah. Celah itu cukup untuk bersembunyi empat anak laki- laki dewasa. Celah
tersebut buntu pada salah satu ujungnya, tertutup dinding pembatas ruangan UKS.
Sementara ujung yang lainnya rimbun oleh tanaman pot dan sulur- sulur tanaman
markisa. Hanya Galuh dan dua orang temannya yang tahu letak tempat ini. Setiap
mereka ingin merokok tanpa diketahui siapa pun, mereka bersembunyi di tempat
rahasia ini.
Galuh sedang mendengarkan Tito bercerita.
Sebenarnya dia tak tertarik. Melihat rasa antusias Tito dan tanggapan Ahmad
yang benggebu-gebu, akhirnya dia penasaran juga. Galuh mendengarkan sembari menikmati
rokoknya yang sudah penyok karena tertindih buku pelajaran.
“ Awalnya gue ga percaya, tapi, pas nonton bola
kemaren, gue lihat sendiri deh. Sumpah, tu perempuan bisa nyelakain orang
beneran deh,” kata Tito yakin.
“ Malahan kata si Hernia, udah korban ke tujuh
tuh,” sahut Ahmad dengan wajah serius.
Tito menepuk lutut Ahmad lantas memandangi Galuh
dengan rasa khawatir. “ Cuma si Galuh aja nih yang blom pernah liat wajah tu
perempuan. Jangan-jangan ntar dia bikin masalah lagi.”
“Lu musti ati-ati, Luh, ma tu cewe. Lu mau cuek
silakan aja, tapi jangan sangkut-sangkutin gue ma Tito kalo ampe lu punya urusan
ma dia.”
[Kejadian di angkot]
Revia terpaksa naik angkot karena sepedanya raib. Dia hanya menemukan tulisan ‘pinjem ya Vi’ di kertas tempel pada dinding parkiran. Sudah bisa dipastikan Surya lah yang lancang menggondol sepedanya. Yang mengherankan adalah bagaiman Surya menemukan kunci sepedanya. Namun Revia toh tak ambil pusing. Surya pasti akan mengantarkan sepedanya nanti malam atau akan menjemputnya besok.
Angkot yang Revia naiki berjalan lambat seperti siput. Dia sudah menguap berkali-kali sangking bosannya. Kebetulan angkotnya tidak ramai. Kebanyakan anak-anak SMAnya memilih pergi ke stadion kota menonton pertandingan sepakbola antar sekolah. Arah stadion dengan arah rumahnya berlawanan, sehingga Revia tak perlu berdesak- desakan sebagaimana bila keadaan normal pulang sekolah. Revia menghitung, kira- kira lima belas menit sudah berlalu semenjak dia naik angkot, dan jarak yang ditempuh baru sekitar lima ratus kilo.
Tepat pada saat angkot berhenti di perempatan lampu merah, ada seorang siswa yang masuk angkot. Revia mengedali lambang sekolahnya terjahit di bagian lengan seragam siswa itu. Revia berfikir mengapa ada juga orang yang tak menonton pertandingan sepak bola. Selebihnya Revia tak tertarik. Kembali Revia menguap sembari mengira-ira laju ankot yang terasa makin lambat.
Mendadak saja, Revia merasakan pandangan yang menusuk, hingga tengkuknya meremang. Dalam sekejap rasa kantuk Revia lenyap, digantikan kewaspadaan penuh pada mara bahaya. Revia berusaha mencari tau apa yang membuatnya merasa terancam. Ketika Revia mengedarkan pandangan pada seluruh penumpang angkot itu, matanya menangkap kilatan tajam pandangan seorang laki-laki, anak laki-laki. Anak laki-laki yang barusan naik angkot dan mengenakan seragam SMA yang sama dengannya.
Revia tak kan pernah lupa sorot mata tajam itu.
~(^o^)~
[Jam istirahat di perpustakaan]
Revia berjuang tampak santai ketika menyampaikan apa yang dialaminya pada Surya. Mereka sedang berjajar menunggu giliran mengembalikan buku di loket perpustakaan. Kebetulan hari itu hari terakhir mengumpulkan PR telaah karya sastra Angkatan Pujangga Baru, sehingga separo anak kelas tiga mengembalikan novel yang mereka pinjam untuk menyelesaikan PR.
“ Tuh, anak itu, yang bersandar di dinding itu. Dia terus-terusan menatap ke arah kita,” kata Revia lirih sembari pandangannya menuju arah yang berlawanan. Surya mengkamuflasekan upayanya mengenali anak yang dimaksud Revia dengan pura- pura bertanya tugas Fisika pada orang yang mengantri dibelakangnya.
“Yang mana? Ada dua orang,” bisik Surya bingung.
“ Yang mirip preman.”
“ Oh......,” jawab Surya paham.
Mereka berdua menghentikan percakapan karena giliran mereka menyerahkan buku tiba. Setelah menyebutkan kelas, nomor induk siswa, dan tanda tangan, mereka kembali ke kelas.
Sepanjang perjalanan ke kelas itu, mereka kembali membahas pengalaman Revia.
“ Tiga hari, sejak kami satu angkot, dia terus-terusan menatapku seperti itu,” cerita Revia.
“ Wah, fans berat tuh, Vi. Kali deh dia pengen kenalan.”
“ Pake hawa membunuh begitu? Sapa deh yang mo kenalan,” bantah Revia, “ Emangnya aku punya salah apa ya ma dia? Apa...pernah ketemu dimana gitu ya, trus aku ga sengaja nginjek kakinya? Ato, ga sengaja ndorong dia ampe jatoh?”
Surya hanya menatap temannya tanpa ekspresi.
“Sur, apa salah ku?” tanya Revia penuh rasa bersalah.
Surya menggeleng tak yakin. Dia pun berjuang mengira-ira penyebabnya. “Hzzz....ga tau juga Vi, lu sih..suka lupa habis ngapain kalo lagi mikir resep. Kemaren aja lu hampir ngledakin lab kimia.”
“ Hais..itu kan gara-gara km salah nuang HCl, Sur,” protes Revia. “ Penasaran nih. Cuma yang ga nyenengin ya itu, tatapannya itu lho, kayak mo bunuh orang. Yakin deh, tu anak bisa bela diri.”
“ Ntar deh gue cari tau. Kali deh dia mantan temen TK lu.”
“ Temen TK? Mana ada?”
“ Sapa tau...?” jawab Surya sama penasarannya.
~(^o^)~
[Jam istirahat di dekat UKS]
Galuh bosan setengah mati gara-gara rokoknya ketinggalan. Tambah si Tito dan Ahmad sedang ikut seleksi pemain bola. Galuh diajak juga sebenarnya, tapi dia malas. Galuh lebih suka nonton bola daripada main. Duduk sendirian di markas jelas ga ada asik-asiknya tanpa Tito dan Ahmad. Akhirnnya dia punya ide untuk nongkrong di kantin sembari nonton Tito dan Aahmad diseleksi. Kan lapangannya keliatan dari kantin.
Pas Galuh keluar dari markasnya, dia melihat cewe dukun itu sedang jongkok di depan UKS. Pikiran Galuh langsung jelek. Cewek itu komat kamit ga jelas. Lebih ga jelas lagi dia bawa kertas. “ Beuh! Mo nyantet sapa lagi tu cewe?!” batin Galuh emosi.
Karena kebtulan cuma ada merka berdua di sekitar gudang dan UKS itu, pikiran Galuh makin menjadi-jadi. Dia mengira mungkin dialah korban selanjutnya. Mengingat beberapa hari terkhir ini Galuh sering menguntit cewe dukun itu diam-diam. Mungkin cewe itu ga suka sehingga melancarkan serangan pada Galuh. Kalau benar cewe itu dukun, pasti dia bisa tahu identitas Galuh dan tanggal lahirnya.
“ Cih! Serang? Serang aja sini, gue adepin!” batin Galuh panas. Dengan kesatria Galuh berjalan menghampiri cewe dukun itu.
Baru tiga langkah, Galuh berhenti. Ada dua orang cewe datang. Galuh kenal cewe-cewe itu. Mereka suka bolos dengan alasan sakit. Mereka bermaksut masuk UKS. Tapi bersamaan dengan itu, kertas-kertas yang dibawa cewe dukun itu beterbangan karena angin. Beberapa lembar beterbangan ke arah Galuh, beberpa lagi sedang ditangkapi cewe dukun, dan beberapa beterbangan ke arah dua cewek tadi. Galuh bingung harus ngapain. Kalaupun dia diam saja, cewe dukun itu akan mengetahui keberadaannya. Kalau dia menangkap kertas yang terbang ke arahnya, bisa jadi dia bisa menggagalkan mantra cewe dukun itu. Tapi tetap saja keberadaannya akan ketahuan. Dia tak ingin cewe dukun itu tau dia ada di sana. Sementara Galuh mencoba mengambil keputusan, cewe dukun itu sudah jongkong lagi di depan UKS. Kali ini dia berada tepat di sebelah dua cewe tadi yang hanya perduli bagaimana cara agar bisa masuk UKS tanpa mangisi daftar pasien di ruang guru. Galuh tahu dengan pasti, salah satu kertas cewe dukun itu terinjak oleh mereka. Nah, yang tak pernah disangka oleh Galuh adalah, cewe dukun itu dengan sekuat tenaga menarik kertas miliknya, hingga salah satu dari cewe tadi kehilangan keseimbangan, kemudian kepalanya membentur pintu UKS, lalu limbung dan terjatuh di halaman UKS, sukses dengan memar di dahi dan luka di lengan dan lutut.
Galuh bengong.
Cewe dukun itu tanpa rasa bersalah kembali mengumpulkan kertas-kertas yang beterbangan karena angin. Dia bahkan memungut kertas di dekat Galuh tanpa menyadari keberadaan Galuh. Kemudian komat kamit dan berlalu begitu saja meninggalkan cewe tadi yang mengaduh kesakitan, sementara cewe satunya mengumpat tak karuan.
Tiga detik berlalu dan meledaklah tawa Galuh.Galuh tertawa sampai tak bersuara, bahkan tak kuat berjalan.
“ Lha, mana Revia?” kata seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Galuh. Dia mencari-cari keberadaan temannya di sekitar sana. Kemudian dia menyadari apa yang terjadi. Satu cewe jatuh, satu lagi menolong sambil menyumpah-nyumpah, dan Galuh yang tertawa hingga tak bersuara. Dia menatap Galuh, yang hanya sanggup menatap balik dengan mata berair, penuh tanya.
“ Hzzzz.....pasti masalah lagi deh,” gumamnya menyimpulkan, “ Revia! Duh...Revia! Woiii.....!” Surya berlari menyusul Revia sembari menenteng papan loncat.
~(^o^)~
[ Pelajaran Biologi di Laboratorium]
Revia menutupi wajahnya dengan tangan karena malu. Dia sedang membantu Surya menyiapkan preparat daun Rhoe discolor untuk praktikum biologi. Surya menceritakan bahwa Galuh mendapatinya melakukan kekonyolan di depan UKS. Selama ini hanya Surya yang tahu kebiasaan ajaibnya, membuat kekacauan tanpa sengaja. Surya pernah bilang Revia itu seperti babi hutan, hanya bisa maju ke depan. Maksudnya, jalan pikiran Revia hanya terpusat pada satu hal saja, tidak bisa bercabang.
“ Pasti dia melihat dari awal, ketawanya asli dari perut.”
“ Aaaahhhh....udah dong... Malu, Sur. Aku harus bagaimana kalau ketemu dia lagi?”
“ Gampang, Vi. Samperin. Ajak kenalan. Selesai.”
“ Mana bisa segampang itu?” protes Revia. "Dia serem tau."
Mereka berdua kembali sibuk memotong jaringan epidermis bawah daun Rhoe discolor dengan skalpel. Teoriya memang mudah, namun mereka sudah mencacah-cacah banyak daun dan baru berhasil mendapatkan satu jaringan epidermis bawah yang layak disebut preparat.
“ Kenapa ga pake foto aja sih?” gumam Surya setelah hasil potongannya lagi-lagi terlalu tebal. “ Bikin susah aja.”
“ Namanya juga belajar, Sur. Lebih baik tahu aslinya daripada fotonya. Learning by doing.”
“ Hmmm....tahu gini kita sengaja dapet nilai pos tes jelek aja.”
“ Hehehehe...lebih serem liat Bu Gea murka deh, daripada bikin preparat.”
“ Iya, ya?” Surya menyetujui pendapat sahabatnya. Kemudian mereka kembali menekuni preparat mereka sementara murid lain asik menikmati jam istirahat.
~(^o^)~
Surya sebenarnya bukan pacar Revia. No. Itu dugaan yang ngawur. Mereka sahabat. Surya adalah orang yang paling mengerti bahwa Revia sering melakukan keonaran tanpa disadarinya. Bukan hanya kasus dua anak yang sengaja bolos ke UKS seperti kemarin, masih banyak lagi sejarah kelam Revia sebagai pembuat onar. Revia pernah tanpa sengaja membuat keseimbangan kakak pemandu pramuka jatuh dari pinggiran sungai pada saat wait game gara-gara dia ga sengaja mengayunkan tongkat pramukanya ketika mengukur lebar sungai. Si kakak pemandu itu langsung menggelinding ke sungai dengan sukses. Untung dia bisa berenang. Tersebarlah gosip bahwa kakak pemandu pramuka itu jatuh karena barusan membentak Revia. Pernah juga Revia tak sengaja membuat pentolan geng Big Brother, kumpulan siswa kelas tiga yang suka pamer kekuatan, cidera serius gara-gara Revia mendorongnya. Kebetulan saat itu Revia mau lewat, tapi Big Brother memenuhi jalanan. Apesnya, si pentolan Big Brother itu kehilangan keseimbangan hingga jatuh dengan wajah terlebih dahulu, disusul benturan keras pada tempurung lututnya. Sebenarnya lukanya tak akan seserius itu bila berat badannya ideal. Sayangnya berkat berat badannya yang sering digunakan untuk menakut-nakuti anak yang lebih lemah itu, cideranya jadi serius. Wajah dan lututnya terpakasa menjadi titik tumpu sehingga menanggung seluruh berat badannya. Hal yang mirip dengan kejadian pecahnya jantung paus yang terdampar. Gosip pun langsung menyebar. Ada orang yang menjadi saksi Big Brother pernah mengganggu Revia di parkiran sepeda.
Surya kenal Revia sejak SMP. Kebetulan mereka sama-sama ikut lomba senam SKJ. Nomor peserta mereka berurutan sehingga mereka selalu bersebelahan. Pada saat dua remaja itu pulang dengan lesu seusai lomba, ternyata rumah mereka berada di kompleks yang sama. Akhirnya mereka sering pulang bareng, mengerjakan PR bareng, pergi beli buku bareng, dan belajar masak bareng. Pertemanan mereka pun semakin erat dari waktu ke waktu.
Banyak yang menggosipkan Revia sebagai dukun sedangkan Surya adalah pawang dukun. Walaupun sebenarnya profesi pawang dukun itu tak pernah ada. Sesekali Surya diculik kumpulan siswa yang ingin menangkal sihir jahat Revia. Surya sih cengengas-cengenges aja. Dia sering memanfaatkan ketakutan mereka untuk kesenangan pribadi. Biasanya surya akan menyebutkan dengan asal bahan-bahan untuk menangkal sihir. Kebetulan mereka percaya saja dan mencari bahan-bahan itu dengan patuh. Anehnya sih, penangkal itu berhasil. Mereka yang memiliki penangkal biasanya tidak terimbas kutukan walaupun berada di sekitar Revia.
“ Denger ya, Sur....bawang putih, sereh, daun jeruk, dan kemiri. Ingetin lho ya. Ntar aku lupa kalo dah sampe pasar,” kata Revia pada sahabatnya sembari membaca resep. Karena Surya tidak menanggapi, Revia mencari tahu apa yang terjadi, “Sur! Malah ngelamun...”
Surya tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum lebar pada Revia kemudian mengulangi ucapan Revia tadi, “Bawang putih, sereh, daun jeruk, dan kemiri kan?”
“He’eh. Pinter....” Revia lega.
“Hehehe...bisa tuh jadi jimat selanjutnya,” batin Surya gembira, “ digerus, dijemur, disimpan di kantong kain, ditaro di sepatu sebelah kanan. Hohohoho....sapa ya yang kira-kira kena jebakan ku?”
~(^o^)~
______________________________________________________________________________
Cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.