Translate

Selasa, 09 April 2013

Juragan & Asistennya ep.2

like Our FB Please


Ratih sedang merawat tanaman di halaman rumah juragannya. Sebenarnya dia masih jet lag.. Jet lag bukan ya? Intinya sih Ratih bingung,  kok dapet juragan yang baik banget sekaligus aneh banget di sini. Baik, karena Ratih ga dikunci di kamar mandi atau dibuat kelaparan. Aneh, karena....masa dia harus memandikan anak laki-laki juragannya?! Anaknya kan sudah besar?! Masa dimandiin?! Ngomong-ngomong kemarin Miss Terry bilang ga sih umurnya berapa? Seumuran SD apa SMP ya? Haduuuh....Ratih ga ingat. Jangan-jangan SMA! Oh No!!! E.... tapi mengingat segala pesan Miss Terry, sepertinya anak juragannya itu masih SMP dan sedang mengalami gangguan kejiwaan. Hmm....kalo anak SMP kayaknya ga apa-apa deh. Lagi sakit pula. Anggap saja Ratih jadi babysitter. Sembari memotong rumput dengan mesin, Ratih sibuk berfikir sendiri. 

Kata Miss Tery, nama ponakannya I-hyun. Pengucapannya harus dipisah per suku kata, I- hyun. Aneh banget. Kalo diplesetkan jadi, “ih....yun...ih...yun...ih....yunniii........yuni dong?” Ratih ngikik sendiri. Masa ya ntar dia ngeledekin anak majikannya. Kalo Nyonyah tahu anaknya yang lagi sakit diledekin, ntar marah. Kalo sampe Nyonyah marah bisa gawat, Ratih bisa dideportasi! Gaji aja belom dapet, masa dah harus bayar tiket pesawat sendiri? Ratih kan sudah bertekat akan mengangap I-hyun seperti adiknya sendiri. Pasti dia anak SMP yang tampan, karena bibi dan ibunya begitu sayang tiap kali menceritakan tentang I-hyun. Segaligus kasihan sih....

Ketika Ratih sibuk menyiram tanaman di taman,  ada mobil masuk ke halaman rumah majikannya. Mobil itu bukan mobil Tuan atau Nyonyah. Mungkin mobil Miss Tery, pikir Ratih. Miss Tery bilang dia akan tinggal beberapa lama di Korea, sekalian mempersiapkan kepindahan Ihyun bulan depan. Ratih pun tak tahu menahu urusan kepindahan itu. Berhubung statusnya di sini hanya pembantu, ya sudah, Ratih tidak berusaha ikut campur atau mencari tahu. Tapi kalo ada tamu kan Ratih musti tahu. Jadi Ratih menyipitkan matanya agar fokus melihat siapa si tamu yang datang itu.

Masih sambil menyiram, akhirnya Ratih sadar, “Waduh! Gimana kalo tamunya orang Korea?! Gimana kalo tamunya tanya, Tuan atau Nyonyah ada di mana? Gimana caranya Ratih menjelaskan? Dia ga bisa bahasa Korea. Cuma bisa Anyonghaseso. Silyehamnida. Gumawoyo,” batin Ratih. Ratih berfikir mungkin lebih baik dia langsung lari masuk mencari Nyonyah saja.

Ketika Ratih hendak bergegas mencari Nyonyah, ternyata tamunya sudah masuk ke halaman, berdiri tiga meter di depan Ratih. Lha kok?!

“Astauhgfirullah!” serunya kaget. Ratih mungkin mimpi, tapi tak mungkin, dia sedang kerja. Ratih bisa saja salah lihat, nah ini baru logis, dia kesulitan membedakan wajah orang Korea.  Tapi, Ratih ga mungkin kan melihat Lee Hyun si penyanyi terkenal itu berdiri di taman majikannya.
Nugu ya?!” kata orang mirip Lee Hyun itu. Menatap Ratih menyelidik dari balik kaca mata hitamnya. Sayangnya yang diselidiki malah bengong sambil megang selang air yang mengalir kemana-mana. 

Ratih yang membatu karena terlalu kaget, mendadak sadar ada bahaya mendekat. Orang yang mirip Lee Hyun itu berjalan mendekatinya. Mereka sekarang berhadapan. Orang itu ngomong entah apa bahasa Korea. Ratih kan ga ngerti. Ratih masik syok, jantungnya berdegup kencang melihat orang yang mirip Lee Hyun itu. Jelas otaknya ga bisa mikir. Eh, malah diajak ngomong bahasa Korea.

Tanpa pikir panjang lagi, Ratih langsung membuang selang air yang dipegangnya dan berlari masuk rumah mencari Nyonyah.

Ya!” teriak orang itu. Selangnya jatuh tak beraturan dan airnya mengenai sepatunya. Lebih tepatnya air dari selang masuk ke sepatu si Orang yang mirip Lee Hyun. "Haish jinca!"

“Nyonyah.... Nyonyah...” Ratih lari sampai nafasnya habis. Begitu bertemu Nyonyah dia langsung panik. “ Nyonyah, ada tamu di luar. Orang Korea, Nyah. Mirip banget dengan Lee Hyun yang penyanyi itu. Dia ngomong Korea, saya ga ngerti, Nyah. Saya langsung nyari Nyonyah. Saya ga ngerti dia ngomong apa.”

Ny. Haryo bingung mendapati Ratih yang panik.

Omma, I sarami nugu imnika?” adaRatih langsung menengok memastikan pemilik suara laki-laki barusan. Tak lain tak bukan adalah orang yang mirip Lee Hyun tadi. 

Ratih langsung berteriak kaget. Dia langsung bersembunyi di balik tubuh Ny. Haryo. “ Itu orangnya, Nyonyah...Itu...kok dia masuk sendiri?” kata Ratih sambil gemetaran.

“Hahaha.....tenang Ratih, tenang. Itu anak ku, I-Hyun.”

“Heeee?!” Ratih tambah histeris.

Si orang yang mirip Lee Hyun itu melotot pada Ratih, “Pabo!”

Belakangan Ratih baru ngeh, bahwa nama 'Lee' dalam bahasa Korea dibaca 'I'. Sehingga nama 'Lee Hyun' diucapkan 'I Hyun'. Jadi, idolanya yang penyanyi terkenal itu, tak lain tak bukan adalah I-hyun, anak majikan barunya. Dan I-hyun yang satu ini ga ada mirip- miripnya dengan anak SMP.


(bersambung.....)

Baca dulu Prolog Juragan & Asistennya
Baca dulu Juragan & Asistennya ep.1



Senin, 08 April 2013

Cinta Dengan Formalin Mungking.....



Herry Eka Sanjaya Pedofilia Gila...........hmmm.....pertama kali ku sebut dia pedofilia kapan ya? Sepertinya setela Aubade deh....Setelah kejadian yang cuma sepuluh detik saja. Setelah pasukan paskibraka dizinkan istirahat, dia berlari menghampiri ku. Memegang bahu ku dari belakang dengan kedua tangannya yang hangat itu, memutar tubuhku, tersenyum manis sekali, memelukku, lalu membisikkan, "Aku kangen banget sama kamu, La." dan lima detik berlalu. Dia melepaskan pelukannya, lantas mengecup pipiku. tersenyum lagi, kemudian berlari kembali pada pasukan paskibrakanya.
Yang ku ingat, hembusan nafasnya di dekat telinga ku, debaran jantung ku, dan sepasang stik dengan bendera merah putih yang ku genggam erat sampai basah. Kata Rena aku mematung begitu lama, dengan tampang bodoh dan tatapan mata kosong.
Ah....laki-laki sialan itu memang menyebalkan!
OK. Dia laki-laki paling sialan yang ku kenal. Teman sekelas sepupu ku. Tiga tahun lebih tua dari ku. Dan tingginya melebihi tinggi ku. Kesenangannya adalah membuat ku tampak bodoh atau mengubah wajah pucat ku jadi merah.
Dia melihat ku sedang main kejar-kejaran dengan Barbie-kucing kepupu ku. Ya maaf kalau aku tampak memalukan. Kaus putih gambar Helo Kitty yang ku kenakan saat itu sudah tidak putih lagi, penuh debu, tanah basah, serpihan rumput kering, dan makanan kucing yang hampir kering. Dan siapa yang menyangka bermain di halaman belakang rumah Pakdhe ku tidak menjamin privasi ku. Tak pernah ada tamu yang nyelonong ke halaman belakang. Tak ada tamu yang mengawasi anak SD berguling-guling di rerumputan sembari memeluk kucing Anggora. Begitu aku sadar ada orang berjongkok di depan pintu ruang keluarga dan menatap ku, dia sedang tersenyum seperti penderita pedofilia menemukan mangsa baru. OK. aku berlebihan, toh aku baru mengerti apa itu pedofilia setelah SMP. Dia melihat ku dengan tatapan orang yang menonton acara kartun kesayangannya. Saat itu aku memangku Berbie, senpatuku entah dimana, dan kaus kaki kanan ku robek, dan gigi taring kiri ku ompong. Aku melongo melihatnya. dia senyum-senyum melihat ku. Saat kak Rifan menepuk bahu laki-laki sialan itu, mata ku sudah berair karena ingin menangis. Aku malu sekaligus kesakitan karena Berbie menggigit jempol ku dengan serius.
Aku menangis meraung-raung tak lama setelahnya.
Sejak saat itu, laki-laki sialan itu terus bertanya tentang ku. Sengaja datang ke rumah Pakdhe dengan alasan belajar kelompok dengan kak Rifan bila tahu aku dititipkan di sana. Mengintip ku bermain. Menyembunyikan Teddy boneka beruang ku. Meminum susu ku serta menghabiskan camilan sore ku. Bila aku ketiduran di karpet di depan TV setiap noton Walt Disney, dia akan ikut tidur di sana. Saat aku mengerjakan PR dia akan menjadi pengawas yang terus menerus mengganggu, bukannya membantu.
Dia terus begitu hingga kelas tiga SMP. Lalu, saat dia diterima di SMA 1 dan kak Rifan gagal, dia meratap lebih banyak daripada kak Rifan yang santai-santai masuk SMA swasta.
Ketika kabar itu sampai pada ku, aku bahagia setengah mati. Akhirnya kebebasan ku telah tiba. Dia tak akan punya alasan belajar kelompok lagi di rumah Pakdhe. Sangking bahagianya, aku memberinya selamat saat bertemu.
Dia menahan tangan ku yang terulur memberinya selamat. Sementara aku berjuang menarik tangan ku yang digenggam dengan sangat kencang itu, dia menatap ku seakan tiada hari esok. "Kok kamu bahagia banget sih, La?" katanya.
"Hwee.....sakit...lepasin...Hweee...," rengek ku masih berjuang melepaskan tangan ku.
"Kamu ga boleh naksir cowok lain. Apalagi pacaran. OK." katanya ngawur.
"Hweee.....kak Rifaaaaan......," aku berusaha mencari bantuan. Namun tak ada yang mendengar.
Rupanya kak Rifan sedang berjuang melawan sembelitnya di WC.
"Hihihihi," dia tertawa bahagia," Aku kangen liat kamu nangis.”
 Omongannya malah semakin membuatku ingin nangis. "Hweee.....hiks..hiks.."
"Gih nangis. Nanti ku cium."
Aku langsung diam. Seketika tubuhku membatu. Aku takut dia mencium ku. Dia malah makin tertawa. Namun, meski aku berjuang tidak menangis, rupanya air mata ku mengalir deras. Badan ku sampai gemetaran karena takut. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena pandangan ku terganggu air mata.
Mungkin dia kaget atau bagaimana, yang jelas pegangan tangannya mengendur. Dia lalu memegang bahu ku, memelukku, lalu meminta maaf dengan tulus.
Pada saat kejadian itu berlangsung, kak Rifan datang dengan perasaan lega sembari mengelus-elus perutnya yang sudah datar. "Walah...malah nangis dipamitin musuhnya. Hmm...ketahuan kan, kamu sebenarnya suka sama si Herry." Dia lantas tertawa sembari mengacak-acak rambutku. Aku terluka dengan perkataan kak Rifan.
Enak aja aku suka dia!! Tangis ku malah pecah.
Dan laki-laki sialan itu memelukku makin erat sembari mengelus kepala dan punggung ku, maksudnya berusaha menenangkan ku. "Cup cup...nanti kak Herry main ke rumah sini kok, sesekali. Jadi kamu ga usah sedih, La."
"Pergi sana yang jauh dan ga usah kembali!!!" bentak ku dalam hati. Cuma dalam hati.
Sesuai janjinya, dia sesekali datang mengunjungi kak Rifan. Namun aku sudah jarang dititipkan di rumah Pakdhe. Aku masuk SMP yang arahnya berlawanan dengan arah rumah Pakdhe.
Aku ke sekolah naik sepeda, dan bilang pada ayah dan ibu bahwa aku sudah berani di rumah sendirian sepulang sekolah. Kebetulan pembantu rumah tangga nenek dijinkan pindah ke rumah ku satu, Kata kak Rifan dia selalu menanyakan ku, mirip detektif investigasi. Namun aku toh tak bertemu dia, jadi hidup ku tentram dan damai.
Itu menurut ku.
Laki-laki sialan itu tidak menyerah. Dia menunggu ku di gerbang sekolah. Sesekali menitipkan surat pada teman-teman ku, bilang kalau nanti dia akan menjemput ku di gerbang sekolah. Malahan sesekali dia ngobrol dengan wali kelas ku, mengaku sebagai sepupu ku yang diutus menjemput ku pulang. Kebohongannya itu, entah bagaimana dipercaya banyak orang.
Aku sering diam-diam pulang lewat pintu belakang, kebetulan ada jalur evakuasi. Dengan sogokan kue-kue, aku berhasil membujuk Penjaga sekolah membukakan pintu itu sesekali. Namun keberhasilan ku tak bertahan lama. Laki-laki itu bukan hanya sialan, dia licik.
"Kamu mau kabur kemana sih, La?"
Aku cemberut dan mengabaikannya. Rasanya aku ingin menangis lagi kali ini. Namun berhasil ku tahan. Ya Allah.....kenapa ada orang seperti dia?
"Sini sepedanya," dia merebut sepedaku. Meletakkan tasnya di keranjang, lalu menungganginya.
"Cepetan duduk," perintahnya, menyuruh ku duduk di jok belakang.
Dengan terpaksa dan kesal setengah mati, aku menurut. Kalau kau harus jalan pulang kan jauh.
"Pegangan dong...,"pintanya.
Hih! coba aku bawa tali pramuka! Ku cekik sekalian lehernya dari belakang!
"Sheila.....pegangan dong...," ulangnya.
Karena usaha ku di masa lalu menolak sekuat tenaga untuk tidak berpegangan pada dia hanya membuahkan kekalahan, sebab dia orang yang sangat sadis, dia tidak akan beranjak sedikit pun sebelum aku berpegangan padanya, dan itu berlangsung selama lima belas menit, maka kali ini aku terpaksa hanya berpegangan pada kain seragamnya. aku tidak mau memegang pinggangnya!
Dia tersenyum. Aku yakin dia tersenyum karena menang. Lalu sepeda kami mulai melaju pelan.
"Kamu boleh lho kalo mau pegang-pegang pantat ku," katanya ganjen.
"Aaaaarggggggg!!!!" aku berteriak frustasi. Sialan! siapa yang mau pegang2 pantat mu!

Aku selalu merasa lelah tiap kali dijemput olehnya. Rasanya umurku berkurang sebulan tiap kali harus bertemu dia. Bahkan dalam sholat ku, aku selalu berdoa agar dia menghilang.
Setelah satu semester berlalu, doa ku dikabulkan. Dia tak pernah muncul lagi. Kata Kak Rifan dia sibuk menjalani ekstra kulikuler sekaligus persiapan pelantikan pengurus baru OSIS. Tanpa alasan, aku memeluk kak Rifan dan berterimakasih. "Halah, ntar kamu kangen lho, La," kata kak Rifan usil.
Tapi kak Rifan salah. Aku menjalani hari-hari penuh kebebasan dengan antusias.
Kemudia bulan Agustus tiba. Siswa kelas dua diminta mewakili sekolah menjadi peserta upacara bendera, terutama sebagai peserta aubade. Kami diminta latihan di alun-alun kota setiap Jum'at dan Sabtu sepulang sekolah. Aku sih tidak keberatan, toh rumah ku berjarak dua kilometer saja dari alun-alun. Aku menjalani hari-hari latihan aubade tanpa mengetahui datangnya bahaya.
Yeah....empat kali latihan tanpa ada kejadian berarti.
Tepat pada saat gladi bersih tanggal 16 Agusutus, dia meluluhlantakkan dunia ku. Gara-gara dia sering menjemput ku dulu, beberapa cowok di sekolah mengurungkan niat mendekati ku. Berkat keberaniannya, bahkan total semua penggemar ku mengundurkan diri. Rena dan teman-teman lantas mengintrogasi ku, menanyakan kebenaran hubungan kami, bertanya apakah dia sepupu ku atau bukan. Ya ku jawab bukan. Mereka serempak ber "Ohhh....." lalu menyebar.
Dan kabar itu pun menyebar esok harinya, tanggal 17 Agustus, status ku berubah jadi ‘Sheila yang sudah punya pacar anak SMA 1’. Sekuat apa pun aku berusaha meluruskan kekeliruan, mereka malah semakin yakin kalau aku ini sudah pacaran dengan laki-laki sialan itu. Baiklah, aku menyerah  saja berusaha membersihkan nama. Aku berusaha mengabaikan gosip. Toh yang terpenting aku tak bertemu lagi dengannya.
Tapi aku salah. Kelangsungan hidupku selanjutnya jauh dari bayangan ku selama ini.
Hari itu tanggal 30 Agustus, dia mengirimkan hadiah ulang tahun dengan sengaja. Karangan bunga dengan tulisan besar-besar "Semalan Ulang Tahun ke 14 Sheila".
Satu sekolahan heboh.
Aku pun heboh, memangnya aku sudah mati dikirimi karangan bunga begitu?!
Tak lama setelahnya aku memang merasa nyawa ku sudah dicabut. Dia mengirimkan hadiah dan bunga mawar ke rumah. Membuat ibu dan ayah ku tersenyum-senyum curiga namun sebenarnya bahagia. Dan tepat pukul tujuh dia nongol di pintu rumah ku.
"Hai, La." sapanya dengan wajah cerah ceria.
Aku menutup pintu di depan mukanya.
"Lho? Siapa tamunya?" tanya ibu ku.
"Orang salah alamat, Bu."
Tapi bel rumah berbunyi lagi, lagi, lagi, lagi, dan lagi, hingga membuat telinga ku berdenging.
Dia berhasil. Ibuku sendiri yang mempersilakan dia masuk.
"Maaf lho tante, saya merepotkan. Sheila langsung menutup pintu begitu melihat saya."
"Ah, saya yang minta maaf, karena Sheila tidak sopan. Ayo, silakan duduk. Sebentar ya, tante buatkan minum."
Begitu ibu ku pergi, dia cengar-cengir.
"Ih....cembertu aja, La?" godanya.
"Biarin!"
"Galak banget."
"Bodo amat!"
"Ga suka ya aku datang?"
"Ga!"
"Berarti suka dong aku datang."
Sialan! Orang ini memang harus dibasmi!
Tanpa ku sadari, air mata ku mulai menggenang. Dia menyadarinya, lantas diam saja.
Tapi yang diam mulutnya! Matanya ga bisa diam! Aku mulai salah tingkah dilihat seperti itu.
"Kok diam aja?" suara lelmbut ibu mengagetkan kami berdua. Dia kaget karena melamunkan entah apa tentang diriku. Aku kaget karena suasana tegang itu mendadak buyar, tapi sekaligus lega.
"Sheila, ambilkan kue gih." pinta ibu sembari menyentuh bahu ku.
Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk meregangkan otot-otot yang kaku. Secepat kilat aku sudah pindah ke dapur. Sayup-sayup aku mendengar percakapan mereka. malahan kali ini ada suara ayah. Aku sedikit lega. Pasti dia jadi ingin buru-buru pulang karena ditunggui ayah dan ibu. Berarti penderitaan ku cuma sebentar.
Aku membawa kue coklat dan biskuit yang disiapkan ibu tanpa bisa menghilangkan rona kebahagiaan karena dia sebentar lagi pulang. Rupanya aku keliru lagi. Suasana di ruang tamu itu hangat, ceria dan jauh dari kesan "dia sebentar lagi pulang". mendadak senyum ku pudar dan badan ku lemas.
Rasanya dada ku penuh sesak dengan perasaan kesal. Entah cemburu karena keakraban mereka atau kesal karena ternyata mereka akarab? Aku tanpa sadar akhirnya menangis setelah meletakkan kue dan biskuit itu di meja. Aku sesenggukan tanpa sengaja, beneran deh ini ga sengaja. Dan airmata ku sudah keluar seperti sungai. Halah....memalukan banget sih?!
Ayah, ibu, dan sialan itu malah tertawa.
"Tuh kan....kamu bahagia sampai nangis ketemu si Harry...." suara yang tak asing itu mendadak muncul dan menyempurnakan kegagalan hari ulang tahun ku. Reflek aku mencari sumber suaranya, dan kak Rifan sudah berdiri di ambang pintu membawa bungkusan hadiah. Ya Allah.....ambil saja nyawa ku.....huhuhuhuhuhu (T~T)
Sejak saat itu, aku selalu melewatkan hari ulang tahun dengan air mata.
Ulang tahun ke lima belas, dia datang dengan membawa setumpuk buku pelajaran. Ayah dan ibu mengumumkan bahwa dia akan menjadi teman belajar ku menyambut ujian. Oh...adakah hadiah ultah yang lebih buruk dari ini? Sepanjang acara bimbingan belajar yang pertama itu, aku menangis sesenggukan karena sebal sembari mengerjakan soal-soal yang sulitnya setengah mati. Dia cengar-cengir saja melihat ku menangis.
Ulang tahun ke enam belas, dia mengambil sepeda ku di parkiran sekolah. tentu saja dengan bantuan penjaga sekolah, mengingat dia alumni di sana. Aku sudah panik dan mulai menangis di gerbang sekolah setelah berusaha mencarinya selama satu jam. Lalu dia muncul dengan senyum cerah ceria mengendarai sepeda ku membawa buket mawar merah.”Hai, La. Lama ya nunggu aku?” Aku bersumpah bahwa aku tidak akan memaafkannya meski saat itu dia menggunakan celana jeans, hem kotak-kotak yang tidak dikancingkan memperlihatkan kaus basketnya, dengan rambut cukup panjang yang bahkan bisa dikucir. Bagaimana dia tahu itu gambaran cowok idaman ku?! Akhirnya aku terpaksa pulang bersama sebab mata ku tak bisa dibuka karena kebanyakan menangis.
Ulang tahun ke tujuh belas, tak seorang pun memberiku selamat. boro-boro, ayah dan ibu malah pergi ke rumah nenek, menjenguk bayi ke dua bibi Alia. Aku terpaksa tidak bisa menyusul karena begitu pulang sekolah hujan turun deras disertai angin. Listrik padam, dan aku di rumah sendirian. Aku meringkuk dalam selimut sembari duduk di ruang tamu, deterangi cahaya lilin yang sebentar lagi minta ganti. Tas ransel ku sudah siap dan sepeda ku sudah siap di dekat pintu. Harapan ku, begitu hujan reda, aku akan segera bersepeda ke rumah nenek. Barusan ada pengumuman di radio bahwa salah satu tiang listrik utama harus diperbaiki karena tertimpa dahan pohon. Daripada aku sendirian dalam gelap begini, lebih aman bila aku menyusul ayah dan ibu.
Aku menangis sendirian sambil merenungi pertambahan usia ku. Ah, betapa malangnya peringatan ulang tahun ke tujuh belas ini. Aku jadi membandingkan peringatan ulang tahun ku sebelumnya. memang tidak bisa diaktakan menyenangkan, karena aku selalu menangis. Setidanya ada orang lain yang ada di dekat ku. Tidak seperti sekarang, sendirian dalam gelap, dan kedinginan. Meski aku sebal bila mengingat siapa yagn manyebabkan ulang tahun ku selalu dipenuhi air mata, namun dalam hati aku berterimakasih bila ada satu saja orang yang datang menyelamatkan ulang tahun ku kali ini.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dipintu. awalnya aku tidak yakin itu suara ketukan pintu. Ku pikir itu suara angin yang membentur bangunan. lagipula aku sibuk menangis. namun suara ketukan itu berubah jadi gedoran. Mendadak kulit ku meremang, ketakutan. sempurna, sekarang aku malah ketakutan. aku yakin itu bukan orang tua ku, karena mereka pasti punya kunci rumah.
Aku beranjak pelan-pelan dari kursi. Masih dengan selimut yang ku gunakan sebagaimantel, dan  lilin yang hampir padam di tangan ku, aku pelan-pelan mendekati pintu. Suara gedoran itu masih terdengar. aku berteriak menanyakan itu siapa, namun suara angin, hujan, dan gedoran pintu itu mengalahkan teriakan ku yang tak seberapa. Ragu-ragu aku memasukkan kunci ke lubangnya. Aku berhenti dan tak ingin meneruskannya. Namun aku lebih takut jika tidak membukanya, maka aku membukanya pelan-pelan. Setelah pintu jelas-jelas tidak terkunci, aku bukannya menarik kenop malah mundur beberapa langkah ketakutan. Sayup-sayup aku mendengar nama ku disebut.
Aku mematung, mencondongkan telingaku ke arah pintu untuk memastikan apa yang ku dengar benar. Rupanya benar, saiapa pun orang di balik pintu itu, dia mengenal ku. Jadi aku menepis keraguan ku dan menjulurkan tangan untuk membuka kenop pintu.
Baberapa senti sebelum aku berhasil meraih kenop pintu, pintu mendadak terbuka. aku berteriak kaget karena melihat sosok tinggi gelap berdiri di ambang pintu. aku terjerembab jatuh dan lilin yang ku pegang terpelanting. Apinya padam. Keadaan di sekitar ku jadi semakin gelap, dan bayangan orang di pintu itu semakin seram. Aku tak tahu lagi seberapa kencang teriakan ku, yang ku tahu aku tenggorokan ku terasa kering.
Ditengah kepanikan itu, aku merasa ada seseorang yang memelukku. Mana ku tahu itu siapa, aku memejamkan mata karena ketakutan. Awalnya aku meronta-ronta ingin dipelaskan. namun dekapannya tidak kendur sama sekali. Entah berapa lama aku berusaha melepaskan diri, hingga pada akhirnya tenaga ku habis. aku sudah tak sanggup meronta lagi.bahkan berteriak pun aku tak bisa. Baru itulah aku menyadari ada yang memelai punggung dan kepala ku.aku mulai merasa aman dan pasrah dalam dekapan entah siapa. mungkin aku mimpi buruk dan ayah atau ibu berusaha menenangkan ku.
Ah iya, pasti hujan deras dan mati lampu itu cuma mimpi buruk. maka aku mulai menyandarkan diri pada bahu bidang orang yang memelukku. Sayup-sayup aku mendengar nama ku disebut. aku juga mendengar suara semacam, "tenanglah, tenanglah..." dan juga "tidak usah takut sayang..." lalu suara, "kamu tidak sendirian...." atau apapun lah itu. Maka aku semakin yakin kalau itu ayah atau ibu. Aku balas memeluknya. berharap mimpi buruk ku sudah berakhir dan segalanya normal saja.
Sepertinya waktu berjalan lambat, atau memang aku gugup terlalu lama? seingat ku aku lama-lama merasa dingin. Ah, terpaan angin itu. Lho?! berarti pintunya beneran terbuka?!
Kesadaran ku belum sepenuhnya kembali ketika pelukan itu mulai mengedur dan tubuhku di dorong pelan menajuh dari orang yang memelukku. Perlahan aku membuka mata dan mendapati wajah yang tak asing dengan rambut panjang berantakan. "Kau siapa?" kata ku tanpa sadar. Dia tersenyum, membelai pipi ku, lalu mendadak wajah kami jadi sangat dekat, lalubibir ku jadi dingin dan basah.
OK. Kalau memang ini mimpi buruk, memangnya tak ada yang lebih buruk selain ini? Aku mungkin gila, tapi pikiran ku mengatakan kalau sekarang ini aku sedang  dicium oleh orang berambut panjang berantakan. Memangnya apa bagusnya mendapatkan ciuman pertama dari entah siapa dalam keadaan kacau balau, lelah, ketakutan, dan listrik mati?
Please deh Ya Allah, masa sweet seventeen ku sempurn? Sempurna hancurnya!
Well sehancur apapun itu, biarlah, aku tak bisa lagi membedakan ini mimpi atau sungguhan. Yang ku tahu sih tubuh ku jadi lebih rileks. Mungkin ini titik balik mimmpi buruk. Berarti sebentar lagi aku bangun. OK. kita tunggu saja. Hmm....kita tunggu saja. Baiklah....ditunggu saja. Tapi  kok tidak selesai-selesai? Emmm......tunggu, aku tidak bisa bernafas atau aku lupa bernafas? Oh bagus, sekarang mungkin aku akan menghembuskan nafas terakhir!
Mendadak aku tersedak. Kemudian aku batuk-batuk. tangan ku mencengkeram baju entah siapa itu dan terus batuk. " Kamu memang ga romantis, La." kata sebuah suara. Dan aku langsung sadar, siapa orang itu, apa yang baru saja terjadi, dan ini bukan mimpi.
Hal pertama yang kulakukan adalah melotot dan hal pertama yang dia lakukan adalah tersenyum bahagia.
Aku menangis lagi (T~T)

"Cie.....yang habis jadian," ledek kak Rifan sembari mengunyah kerupuk udang. Aku cuma mencelos.
Kak Rifan malah senyum-senyum nyebelin. Aku cemberut. Kami sedang duduk di sofa tua di rumah nenek. Keluarga besar kami berkumpul untuk menyambut bayi mungil tante Alia. karena kami terkenal suka ribut, maka kami diusir dari kamar bayi mungil itu disuap sekaleng kerupuk udang kesukaan kami dan disarankan duduk manis sembari nonton TV.
"Gimana? Enak ga?"
"Apanya?!" jawab ku sewot.
"Hihihihihi....." kak Rifan malah ketawa ngikik. Aku menghela nafas panjang melampiaskan rasa kesal ku.
Sebal pada kak Rifan. aku melempar bantal padanya. Dia malah makin terkikik bahagia. "Kak Rifan nyebelin!"
"Yeee....ni anak kenapa sih? sewot banget." Kak Rifan melempar balik bantal tadi. " Udah deh, La...akui saja kamu tu cinta mati sama Herry.”
"Aku ga suka sama dia," jawab ku ketus.
"Halah.....mulut mu aja ngomong ga suka. Tapi hatinya bahagia."
"Dih...sembarangan. Emang kak Rifan tahu hati ku kayak apa? Wuuu...sok tau!"
OK, kejadian kemarin itu memang tidak diketahui siapa pun. Aku berhasil mengusir makhluk paling menyebalkan di muka bumi ini pulang lima menit sebelum ayah dan ibu kembali dari rumah nenek. Tapi mulut orang itu pasti tidak bisa diam, aku yakin dia cerita macam-macam pada kak Rifan, mengingat persahabatan mereka. Nyatanya benar dugaan ku, kak Rifan langsung senyum-senyum usil sejak pertama bertemu di rumah nenek. Mulut pedofil itu memang harus dibungkam!
Aku mencoba mengacuhkan tatapan usil kak Rifan dan berkonsentrasi pada film yang diputar di TV. Lalu ayah lewat, barusan pulang dari pasar mengantar nenek dan budhe belanja untuk tasyakuran adik bayi nanti sore.
"Om, si Sheila dah punya pacar lho."
Ih...tu mulut memang minta dijahit! Aku melotot pada kak Rifan lalu panik menunggu reaksi ayah.
"Oh ya? sama siapa?"
"Herry, Om. Itutuh....cinta sejatinya Sheila," ledek kan Rifan. Dia ketawa puas.
"Lha bukannya sudah dari dulu?" Ayah menatap ku, meminta jawaban.
Aku membalas tatapan ayah dengan putus asa. lalu menggeleng pelan.
"Ah, dia aja ga mau ngaku, Om."
Hedeh.....ni mulut kak Rifan emang perlu disumpal.
"Hahahaha...." ayah malah tertawa. Kemudian ayah mengacak-acak rambutku," Ga papa kok, ayah sudah tahu kok." Jantung ku melompat sedetik, jadi ayah tahu kejadian mekarin sore?! Mati aku! "Ayah sih setuju saja. Dia anak yang baik." dalam hati aku mengutuk Herry Eka Sanjaya Pedofil Gila!!! "Cuma Sheila aja belum sadar," kata ayah bijaksana. Hati ku mencelos.
"Tuh kan....Emang yang bermasalah tu otak mu, La." sahut kak Rifan. Aku mengutuk kak Rifan juga.
Lalu ayah berlalu untuk ngobrol dengan Pakdhe.
Aku langsung menyerang kak Rifan dengan bantal. Dia tak mau kalah. Akhirnya kami perang bantal dengan seru. Tau-tau nenek sudah menjewer telinga kami. "Sudah besar kok masih saja berantem....ganggu adeknya yang lagi bobok!"
"Iya nek....maaf...." ucap kami sembari menahan nyeri di telinga.
Sore itu, laki-laki yang paling tidak ingin di temui di dunia datang pada acara tasyakuran adik bayi atas undangan kak Rifan, ayah, ibu, Pakdhe, Budhe, bahkan tante Alia.
Sepertinya aku tidak punya dukungan (T~T).

Sekarang? Yeah, aku terpaksa mengerjakan latihan soal-soal untuk persiapan ujian masuk universitas sekaligus ujian akhir. Dengan bangga orangtua ku menunjuk pedofil gila itu menjadi pengawas ku. Ada meja rendah yang disediakan khusus untuk bimbingan belajar di kamar ku. Kami duduk beralaskan karpet. Lututnya yang panjang itu selalu ditempel-tempelkan pada  lutut ku di bawah meja.
“Kamu pernah kangen ga sama aku, La?”
“Enggak.”
“Bohong.”
Mana pernah dia percaya kata-kata ku?
“Pernah mkirin aku?”
“Ga.”
“Bohong lagi,...” katanya percaya diri.
Aku mengacuhkannya dengan mengerjakan soal Kimia yang tak habis-habis ini.
Melihat ku serius mengerjakan soal dan mengacuhkan dirinya, dia merebut lembar soal ku. Karena melawannya adalah percuma, aku mendiamkannya saja. Aku berusaha memohon tanpa kata-kata, tapi sepertinya gagal. Jadi aku mengambil buku soal yang lainnya, Fisika.
“Masa kamu ga pernah ingat aku, La?”
“ Kadang-kadang sih,” jawab ku sambil lalu sembari menyelesaikan soal.
Dia merebut buku soal ku lagi. Kali ini langsung dilempar di balik punggungnya.
Aku menghela nafas panjang dan hanya menatapnya kesal. Sekali lagi, aku mengambil buku soal Matematika. Dia langsung berusaha merebut buku soal ku lagi. Aku berusaha mepertahankannya. Well, kalau sampai buku ini sobek, toh dia pasti akan membelikan yang baru, jadi aku tak mau mengalah lagi kali ini.
“Kapan kau ingat aku, La?” tanyanya usil. Jarak wajah kami paling hanya dua jengkal. Aku berjuang keras mengabaikannya dan berkonsentrasi merebut buku matematika ku.
“Kadang-kadang,” jawab ku ketus. Tangan kami masih beradu kekuatan memperebutkan buku soal matematika.
“Kadang-kadang itu pas apa?”
“Mana ku tahu, aku ga pernah sengaja mengingat-ingat.”
“Kalau pas kamu nonton kartun Walt Disney, kamu ingat aku ga?”
“Ga.”
“Bohong.”
“Sungguh.”
“Yakin?”
“Yakin.”
“ Kalau pas pangerannya nyium putri, masa ga ingat aku?” katanya dengan mata berkilat-kilat penuh kemenangan.
Aku langsung melepaskan buku soal matematika itu. Dia terjerembab kebelakang karena menarik sekuat tenaga. Kepalanya membentur lantai hingga mengeluarkan bunyi “Duk!” yang cukup keras.
“Aduh!”
Aku langsung meninggalkan tempat duduk ku, memeriksa kepalanya. Syukurlah tidak berdarah atau retak. Mungkin malah lantai kamar ku yang retak, mengingat betapa keras kepalanya makhluk satu ini.
Tanpa sadar aku maalah mendekap dirinya saat memeriksa akibat benturan itu. Dia senyum-senyum bahagia. “ Kalau kamu cium di situ, nanti langsung sembuh, La.”
Reflek aku langsung menghempaskan kepalanya. Kali ini bunyi “Duk!”-nya lebih keras. Dia berguling-guling kesakitan sambil memegangi kepalanya.
“Salah mu sendiri!” kata ku kesal. Aku sudah tidak mau peduli lagi pada kepalanya yang terbentur itu. Siapa tahu berkat benturan dia hilang ingatan lalu melupakan ku. Kan aku bakal bahagia. Aku kemudia berbalik, berniat kembali ke tempat duduk ku semula dan mengerjakan soal Biologi. Tapi tangannya berhasil menarik tungkai ku, hingga aku kehilangan keseimbangan. Kali ni bunyi “Duk!” itu disebabkan benturan antara kepalaku dengan lantai.
“Aa!!” aku mengaduh kesakitan. Kepalaku rasanya berputar sebentar. Dahi ku rasanya perih.
“Kau tak apa-apa, La?” tanyanya kahwatir. Dalam sekejab dia sudah membaringkan ku dan menyisipkan batal diantara kepalaku dan lantai. Karena benturan itu, kepalaku pening. Aku tak begitu mengerti apa ucapannya.
“La.....?” katanya lembut. Dia memeriksa dahi ku, meski aku berusaha menghindar terus.
“Sebentar, biar ku periksa,  La.” Dia mencengkeram kedua tangan ku dengan tangan kirinya dan menahan dagu ku agar tidak bergerak-gerak dengan tangan kanan. Dengan leluasa dia memastikan keadaan ku. “Kamu memar,” katanya melaporkan.
Sebenarnya, aku tidak terlalu suka padanya. Sungguh, dari lubuk hati ku yang terdalam aku selalu ingin memberontak padanya. Namun dari lubuk hatiku yang terdalam juga, aku merasa betapa perhatiannya itu terkadang terlalu baik hingga aku merasa tak pantas menerimanya. Ku akui sih, dia memang orang yang perhatian sekali. Mengingat banyak sekali kebaikan yang dia lakukan pada ku dulu, selain juga keusilannya yang segudang.
Mata kami bertemu. Rupanya tanpa sadar aku mengamatinya sedari tadi. Ah...ketahuan itu memalukan.
“Sakit?” tanyanya.
Aku mengangguk. Dia lalu melepaskan tangan ku.
“Dahinya maksud ku,” katanya dengan senyum penuh kemenangan. Tapi aku tak mau menanggapinya kali ini. Mulutnya yang tadi melengkung ke atas, langsung menjadi datar. Hening lagi.
Aku sudah bisa menebaknya, cukup dua detik, dan setelahnya dia tak akan melepaskan kesempatan. Ya sudahlah, toh melawan pun aku tak akan menang dari dia. Jadi ku biarkan saja dia menyapukan bibirnya diatas bibir ku.
Yeah, memang sih, aku belum menerimanya sepenuhnya. Rasa-rasanya ku memang tak bisa lari darinya. Ku rasa ulang tahun ku yang ke delapan belas, sembilan belas, dua puluh, dan seterusnya akan terus ku habiskan bersamanya. Mungkin itu sudah lama ku ketahui, sejak pertama kali aku menyadari dia menatap ku tanpa berkedip saat pertama kali kami bertemu. Dan sepertinya aku sudah tahu bahwa pelukannyalah yang akan terus menenangkan ku, sebagaimana saat pertama kali dia memelukku ketika aku menarung-raung karena jariku digigit Barbie. Mungkin kata-kata kak Rifan benar, aku sebenarnya sangat menyukainya hingga rasa suka yang begitu kuat itu terasa menyesakkan di haiku dan ku artikan sebagai benci. Mungkin juga kata-katanya benar, bahwa aku berbohong mengatakan tak pernah mengingatnya, karena sebenarnya aku hampir setiap saat ingat dia sampai-sampai itu menjadi kebiasaan sehingga tak perlu lagi sengaja mengingatnya.
“Coba kau sebut nama ku,” pintanya. Aku menggeleng. Memang sejauh ingatan ku, aku hampir tak pernah memanggil namanya. “Coba sebut.....”
“Herry Eka Sanjaya Pedofilia Gila,” jawab ku reflek. Ah...aku pasti akan sengsara lagi gara- gara itu. [End]




_________________________________________________________________________________
~label saja~

Cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja,  cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja. cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja, cerpen remaja.



Jumat, 01 Maret 2013

Pandawa vs Kalina ep.7

Like Our FB Please

Kalina sedang membaca eksiklopedia mengenai migrasi paus bungkuk, ketika Yeshi datang dengan wajah pucat, diiringi Hera. Tumben sekali dua temannya ini mau menginjakkan kaki ke perpustakaan. Mereka lebih suka bertanya pada Kalina, daripada membaca buku di perpustakaan. Dengan sedikit heran, Kalina memperhatikan keduanya menarik kursi, lalu duduk di hadapannya.

“Ka, kamu harus janji sama aku,” kata Yeshi sarat emosi.
Kalina mengangkat alis kirinya. Dia memandang Hera, menuntut penjelasan.

“ Beneran, Ka, kamu harus janji dulu sama aku,” pinta Yeshi putus asa. Yeshi langsung merebut buku Kalina, menutupnya, dan mendekap buku itu.

“Ada apa, Yes? Tenangkan dulu pikiran mu,” kata Kalina mengerti. Dia menduga temannya sedang dalam kesulitan.

“Pokoknya kamu janji dulu sama aku, Ka.”

“Iya, aku janji. Ada apa ini? Jelasin dong,” Kalina penasaran.

“Kamu ga boleh naksir ayank Pradana, Ka. Ga boleh.”

“Hhh....” Kalina menahan tawa, “Astaga, Yes. Ngapain aku naksir dia?”

“Kamu bisa aja naksir dia, Ka. Kalian kan ditunjuk kepala sekolah untuk lomba bareng. Pokoknya kamu udah janji sama aku, Ka. Kamu ga boleh melanggar janji.” Kata Yeshi dengan wajah serius. “Janji itu hutang, Ka.”

“Iya. Aku janji,” jawab Kalina tegas.

Yeshi langsung merasa lega. Dia mengendurkan syaraf-syaraf tubuhnya. Janji Kalina seakan oase yang menyejukkan di tengah padang pasir.

Melihat temannya sudah lega, Kalina mencoba mencari tahu lebih mendetail pada Hera, “Memangnya lomba apa, Her? Bukannya aku maju sendirian, ya?”

“Ampun deh, Ka......kamu ga ngerti apa pura-pura ga ngerti sih?” Hera menepuk dahinya. “Pradana barusan dipanggil kepala sekolah. Dia ditunjuk mewakili SMA Pancasila lomba pidato “Sudut Pandang Pemuda Terhadap Politik” bareng sama lomba siswa teladan mu.”

“Oh.....”

“Kok Cuma ‘Oh’?! Kalian udah lomba bareng sekali kan, Ka?” rengek Yeshi. “OK, tahun lalu kamu bisa menghindari pesona ayank Pradana. Tapi kan tahun lalu dia ga seganteng sekarang, Ka. Jangan-jangan, ntar kamu naksir dia pas lomba bareng itu.”

“Hmm? Lomba bareng? Kapan ya?”

Hera dan Yeshi saling berpandangan. Mereka menghela nafas bersamaan. Memang benar Kalina bintang kelas, tapi dia kadang-kadang lemot, apalagi untuk urusan laki-laki.

“ Tahun lalu kalian dikirim untuk ikut lomba yang sama kan, Ka? Yang di Universitas NKRI itu lho,” kata Yeshi agak jengkel.

Kalina mencoba mengingat. Memang dia pernah ikut lomba di Universitas NKRI sih, tapi sendirian. Pradana itu yang mana ya? “Aa...aku ingat! Aku lomba sendirian kok.”

“Lha?!” seru Yeshi dan Hera berbarengan. “Trus Pradana kemana?”

“Tempat lomba kami terpisah. Dia kategori kelas 1 kan? Dia lomba di gedung Fakultas Kedokteran Hewan. Aku kategori kelas dua, di gedung Kuliah Bersama.”

“Ooooh......” jawab Yeshi dan Hera bersamaan. Lega campur baru ngeh kalo ternyata tempat lombanya terpisah.
****

“Pret! Beneran kamu ditunjuk lomba bareng Kalina?” tanya Yudis dengan antusias. Dia langsung bergegas ke kelas 11-A begitu mendengar kabar itu, karena ingin memastikan langsung pada Pradana.

Pradana tersenyum bangga, sambil membetulkan dasinya.

Yudis langsung lemas. Dia terduduk penuh penyesalan di kursi Yasir. Kebetulan Yasir sedang berdiri bersandar pada dinding. “Aku menyesal kenapa tahun lalu ga ikut lomba pidato,” gumam Yudis lesu.

“Tenang, Bro. Kamu ga bakal kalah dari siapa pun kalo lomba menerjemahkan morse,” jawab Pradana sambil cengar-cengir.

“Apa gunanya itu?” jawab Yudis pasrah. Galih, Raka, dan Yasir menepuk bahu Yudis bergantian, berusaha memberi semangat sahabatnya satu itu.

“Yakin nih kalian bakal satu gedung? Tahun lalu aja beda kan?” tanya Galih ragu.

“Kali ini, tempat lomba kami satu gedung, jadi ga bakal deh berangkat sendiri-sendiri kayak tahun lalu. Heuw! Ga sabar aku,” kata Pradana semangat.

“Heeeehh....kamu benar-benar beruntung, Pret.” Yudis lantas memperlihatkan wajah yang mencerminkan datangnya kiamat esok hari.

“Santai, Bro. Nanti kalo aku berhasil kenalan sama Kalina, aku bakal minta nomer telponnya. Nah, kalo sudah dapet.......,” Pradana sengaja menggantung kalimatnya.

“Kalo sudah dapet.....?” sahut Yudis membeo, penuh harap.

“Kalo sudah dapet nomer telponnya.....ku simpan sendiri. Hahahahahahahaha..!!” Pradana puas. Akhirnya dia bisa menggoda Yudis. Kapan lagi ada kesempatan sebagus ini?

“Hahahaha...!!” Galih dan Raka langsung tertawa mendengar candaan Pradana. Sebaliknya, Yudis malah semakin terpuruk dan lesu.

Disaat yang lain sedang menikmati kegetiran Yudis, tiba-tiba Yasir menyahut dengan polosnya, “Kalau Pradana ga mau ngasih tau, biar aku yang kasih tahu nomer telpon Kak Kalina.”

“HAA?!” sontak keempat temannya langsung menatap Yasir penuh tanya.

“Kamu punya nomer telpon Kalina?!” tanya mereka kompak.

(^o^)v


Pagi itu tanggal tujuh belas, maka diadakanlah upacara bendera. Banyak sih yang sebel ikut upacara. Namun tidak bagi Kalina. Menurut dugaan Hera dan Yeshi, upacara itu amat sesuai dengan karakter Kalina, protokoler dan kaku. Namun menurut Kalina sendiri upacara adalah satu-satunya kegiatan yang sama persis dilakukan oleh pendiri bangsa ini sejak Indonesia merdeka hingga sekarang. Contoh, upacara pertama adalah proklamasi Indonesia yang diikuti Bung Karno dan Bung Hata. Hanya dari upacaralah Kalina dapat merasakan sejarah yang diulang secara langsung. Sebab sejarah yang lain tak mungkin terulang, misal gerakan G-30S PKI, ga mungkin Kalina berkesempatan merasakan itu kan? Nah, hanya dengan upacara inilah, Kalina seakan menjadi salah satu tonggak berdirinya bangsa ini secara nyata. Dan ini pun hanya sekali sebulan. Betapa sedikit kesempatannya, batin Kalina.

Pada kesempatan upacara kali ini pun, ada yang merasa bahagia karena upacara itu ada. Yudistira. Hari ini dia ditunjuk sebagai komandan pleton tiga. Artinya dia akan memimpin barisan kelas tiga. Artinya dia akan berdiri di sebelah kanan barisan, tepat di sebelah Kalina biasa berdiri. Sungguh, baru memikirkan upacara hari ini pun, Yudis tak bisa tidur nyenak semalam.

Maka, ketika siswa lain masih bercerita tentang jalan cerita sinetron semalam, Yudis bersama tiga teman sekelasnya sudah berkumpul melakukan persiapan upacara. Satu sebagai komandan upacara, sementara Yudis dan dua lainnya ditunjuk sebagai komandan pleton. Karena Raka adalah aset PMR yang berharga, dia  selalu bertugas sebagai tenaga kesehatan.

“Kamu yakin ga apa-apa, Bro?” tanya Raka khawatir. “ Wajah mu pucat,” katanya dengan muka serius. Dia lantas memeriksa denyut nadi , warna kelopak mata bagian dalam, dan suhu dahi Yudis.

Yudis menatap sahabatnya dengan penuh keyakinan. “Halah. Bercanda mu ga lucu. Peserta jambore kok lemah,” jawab Yudis sembari menampik tangan Raka.  
                                                                                                                                                                  Raka tertawa ngikik. Dia sedang berusaha menggagalkan impian Yudis menjadi komandan pleton tiga. Awalnya Yudis ditunjuk jadi komandan upacara. Namun, menilik menimbang dampaknya terhadap histeria PFC, Pak Satrio menukar posisi Yudis dengan komandan pleton tiga. Rupanya usaha Raka tidak berhasil. Jelas tidak berhasil, Yudis itu praja muda karana tangguh dan lulus banyak ujian kecakapan. Tak mungkin dia jatuh sakit hanya gara-gara tidak nyenyak tidur semalaman. 

“Ingat, Bro, begitu ada tanda-tanda Kalina mau pingsan, langsung panggil aku. Aku akan jaga di belakang pleton tiga,” Raka memberikan pesan terakhirnya, lengkap dengan kedipan mata, sebelum bergabung dengan tim PMR sekolah.

Ketika Bel masuk berbunyi, semua siswa SMA Pancasila Sakti bergegas ke lapangan. Berhubung Hera masih menjadi anggota PMR, maka dia bergabung dengan tim kesehatan. Yeshi jelas ingin berada di depan, karena gosipnya salah satu dari Pandawa menjadi komandan upacara. Sementara Kalina kalem saja berada di baris terdepan.

Begitu protokol dibacakan, semua siswa berusaha untuk diam. Sebagian besar siswi berharap salah satu Pandawa menjadi komandan upacara. Sayangnya dugaan mereka salah. Komandan upacaranya bukan Pandawa. Yudis sudah berharap berdiri tepat di samping Kalinan. Sayangnya dugaannya salah. Barisan anak 12-A berada pada bagian paling kiri pleton tiga. Temannya salah meletakkan urutan papan kelas. Bahkan hari itu mereka mendapatkan pembina upacara Pak Gunadi, yang senang sekali berpidato hingga kaki semua peserta upacara mulai kesemutan. Alhasil banyak siswi yang mendadak pingsan. Beberapa sengaja pingsan sih agar bisa beristirahat.  Tim PMR langsung dipanggil bertugas, meski hari itu bukan jadwalnya bertugas. Begitu pun tenaga kesehatan masih kewalahan. Akhirnya, demi kemaslahatan siswi-siswi yang pingsan, Hera meminta bantuan Kalina dan Yeshi.

“Please, kami kurang orang,” pinta Hera sambil berbisik, ketika menyusup ke barisan upacara.
Alhasil, Kepala sekolah memberi kode agar Pak Gunadi segera menyelesaikan pidatonya. Protokol langsung mempercepat jalannya upacara. Akhirnya, upacara dibubarkan.

Hiruk pikuk peserta upacara yang ingin segera berteduh bercampur dengan hirup pikuk tim kesehatan memberikan pertolongan pada pasien. Yudis akhirnya turun tangan membantu evakuasi pasien. Begitu tugasnya selesai, Yudis langsung mencari Raka. Dua sahabat itu langsung bahu-membahu mengangkat siswi yang pingsang dengan dragbar. Ditengah kesibukan itulah, tanpa sengaja Kalina menubruk Yudis. Kotak P3K yang dibawa Kalina terpelanting, beruntung langsung bisa ditangkap Yudis.

“Wah, maaf dan terimakasih,” kata Kalina singkat. Dia langsung berlari menghampiri Hera yang sedang mengoleskan minyak angin pada seorang anak kelas 9.

Yudis sempat terpesona. Dia sempat tertegun tiga detik. Namun lamunannya segera buyar oleh teriakan Raka, “Bro, masih ada seorang lagi!”

“OK!” Yudis segera berlari membawa dragbar menyusul Raka. Meski hari itu semua kacau, Yudis bersyukur diberi kesempatan bertemu Kalina walau beberapa detik saja.
(^o^)v

[bersambung...]





Cerita Populer